BAGIAN KEDUA
KEPRIBADIAN DAN KETELADANAN
“Beliau memang lebih senang diam. Jika berkata sekalipun pendek tapi mengandung makna yang sangat luas dan dalam”.
Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA merupakan figur ulama yang memiliki kepribadian dan keteladanan agung. Keagungan dan rasa hormat yang ditunjukkan oleh setiap orang yang mengenalnya, tidak dapat dilepaskan dari kepribadian dan keteladanannya.
Dari kepribadian dan keteladanannya yang agung memancar kharisma, yaitu semacam “pengaruh spiritual / nadhrah” yang membuat setiap orang menaruh rasa hormat dan segan terhadap beliau. Pengaruh spiritual itulah yang membuat para tamu yang berkunjung ke rumahnya ataupun orang yang berada satu majelis dalam pengajiannya, merasa betah berada di dekatnya.
Padahal, suasana yang menonjol ketika itu adalah keheningan. Beliau tak banyak bicara. Hanya sesekali saja beliau mengatakan sesuatu, itupun hanya seperlunya saja. Ketika menyampaikan fatwa dan amanatnya, nadanya ringan-ringan saja, tetapi di balik itu tersimpan ribuan hikmah yang luas dan mendalam. Mereka merasakan keteduhan dalam keheningan bersamanya. Keteduhan dalam keheningan itu adalah laksana embun pagi yang menetes ke dalam hati. Itulah pesona spiritual yang menjadi daya tarik sehingga banyak orang ingin menemuinya, meski hanya sekedar memandang wajah atau mencium tangannya.
A. Hidup Sederhana
Pola kehidupan sehari-hari yang dijalani oleh Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA diwarnai dengan pola hidup sederhana. Dari sisi manapun orang melihat aspek kehidupannya, yang nampak adalah kesederhanaan. Kesederhanaan dapat dilihat mulai dari pakaian yang beliau kenakan, makanan dan minuman sebagai menu sehari-harinya, tempat tinggal dan perabot rumah tangga yang dimilikinya, perkataan dan tutur kata yang keluar dari lisannya ataupun lingkungan dan pergaulan orang-orang yang dekat dengannya.
Pakaian sehari-hari yang beliau kenakan adalah pakaian yang pada umumnya dikenakan orang kampung. Dalam berpakaian, sama sekali tak mengesankan bahwa beliau adalah seorang ulama besar. Dengan pakaian yang sederhana itulah, beliau berbaur dan berinteraksi dengan orang-orang kampung. Sehingga dari segi pakaian, sama sekali tak nampak perbedaan antara ulama dan orang kampung.
Pakaian yang sering beliau kenakan adalah baju seperti baju piyama atau baju kemeja berwarna putih yang dipadu dengan kain sarung hitam dan kopiah hitam. Disamping itu beliau juga senang mengenakan pakaian-pakaian yang berwarna kalem atau tidak mencolok. Apalah artinya warna pakaian. Untuk ukuran orang yang asal memakai warna pakaian tanpa ada pemaknaan di balik warna pakaiannya, ungkapan tersebut relevan sekali. Namun ketika warna itu berkaitan dengan seorang figur panutan, tentulah ada maknanya. Disamping itu pakaian yang beliau kenakan selalu bersih dan rapi, tidak tampak sedikit pun noda kotoran yang melekat di bajunya.
Bagaimana memberi makna pakaian warna putih ataupun warna gelap yang sering beliau kenakan? Bukankah warna putih melambangkan kesucian dan warna gelap melambangkan duka cita? Apakah di balik warna pakaiannya itu terkandung pesan bahwa sesungguhnya beliau lebih mengutamakan kesucian hati daripada yang tampak secara lahiriah dari warna pakaian yang dikenakan? Ataukah ada maksud lain, misalnya, warna gelap sarung beliau mencerminkan kedukaan yang mendalam kepada dunia fana ini ? Atau ada alasan lain? Allahu a’lam.
Selain dari pakaian, kesederhanaan juga terlihat dari lingkungan di sekitar rumahnya. Bahkan, rumah yang beliau tempati beserta keluarganya adalah bantuan dari PSW Pusat saat itu yang membangunkan rumah bagi beliau. Bangunan rumah beliau yang terlihat dari luar, sangat jauh dari kesan kemegahan dan kemewahan dunia. Kesan yang mendalam sangat menonjol dari bangunan rumahnya adalah kesederhanaan. Demikian pula dengan properti yang ada dalam rumahnya. Ruang tamunya tidak terpajang furniture yang istmewa. Kalaupun ada meja kursi yang agak baik, itupun hasil dari pemberian salah satu pengamal Wahidiyah.
Kesederhanaannya juga tercermin dari menu makanan sehari-harinya yaitu nasi putih, krupuk dan kecap. Beliau sudah merasa sangat nikmat sekali makan hanya dengan menu makanan seperti itu. Tak jarang beliau dan putra-putrinya yang masih kecil-kecil hanya makan sayur kangkung yang beliau petik dari sekitar rumah yang memang dikelilingi rawa-rawa. Makanan yang paling disukai adalah nasi pecel, beliau juga senang pada krupuk melinjo.
Kesederhanaan juga tercermin dari tutur kata yang beliau ucapkan. Ketika berbicara, sangat ringkas, padat dan seperlunya saja. Meski demikian, apabila disimak dengan cermat maksud dan makna di balik setiap perkataannya, untaian kata-katanya mengandung makna yang dalam laksana untaian mutiara yang tersusun. Itu pun beliau ucapkan dengan suara yang pelan. Begitu pelan suaranya sehingga orang-orang yang mendengarkan harus memasang telinga baik-baik supaya dapat menangkap dengan jelas maksud perkataannya. Saat beliau berbicara, orang-orang segan untuk menyela. Mereka dengan sabar menunggu satu per satu perkataan yang keluar dari lisannya.
Tidaklah mengherankan bila dalam suatu forum pertemuan kadang beliau lebih memilih diam meski banyak orang yang menunggu nasehatnya. Bila sudah begitu, orang-orang yang hadir dalam forum tersebut tak berani untuk membuka pembicaraan.
Pola hidup sederhana yang dijalani Mbah K.H. Abdoel Majid Ma’roef RA merupakan pengamalan dari nilai-nilai luhur ajaran Islam, sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW yang sangat menekankan pola hidup sederhana kepada umatnya. Rasulullah SAW adalah seorang pemimpin umat manusia sedunia, penghulu para rasul dan kekasih Allah SWT yang menganjurkan hidup sederhana.
Seorang sahabat ketika berkunjung ke rumah Rasulullah SAW tak kuasa menahan air mata ketika menyaksikan sendiri kesederhanaan kehidupan sehari-harinya. Pada saat sahabat datang, Rasulullah sedang berbaring di atas tikar yang terbuat dari daun kurma. Ketika beliau bangkit dari berbaring dengan bertelanjang dada untuk menyambut kedatangan sahabatnya itu, bekas-bekas tikar tergambar di tubuhnya.
Bagaiamana sahabatnya itu tidak menangis menyaksikan hal itu. Sebagai seorang pemimpin umat, Rasulullah sebenarnya berhak untuk tidur di atas kasur atau permadani yang empuk dan mewah, namun Rasulullah memberikan teladan hidup sederhana kepada umatnya.
B. Tak Berkenan Diperlakukan Istimewa
Selaras dengan pola hidup sederhana, Mbah K.H. Abdoel Majid Ma’roef RA tidak berkenan mendapat perlakuan istimewa. Beliau lebih suka dengan perlakuan yang sewajarnya . Perlakuan yang sewajarnya itu adalah lebih sejalan dengan pola hidup sederhana yang beliau jalani.
Suatu ketika Mbah K.H. Abdoel Majid Ma’roef RA diundang untuk menghadiri suatu acara di Jombang di rumah mertua H. Mohammad Syifa’. Tuan rumah dengan sengaja menyediakan tempat khusus bagi ulama yang diundang. Untuk itu tuan rumah menyediakan tempat tidur (istirahat) khusus lengkap dengan kasurnya. Sedangkan para penderek (pengantar) beliau tidur di lantai. Di tengah malam beliau memeriksa para pendereknya, setelah mengetahui kalau para pemdereknya tidur di lantai, akhirnya beliau juga tidur di lantai dalam kamar tanpa alas kasur.
C. Zuhud
Pola hidup sederhana adalah zuhud. Zuhud adalah sebuah sikap menjaga jarak dengan hal-hal duniawi. Seorang yang zuhud (zahid) menjaga hati, pikiran dan perasaannya dari terpengaruh oleh benda-benda dunia. Pikiran, hati dan perasaannya diisi dengan kesibukan untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah). Apa yang terlintas dalam pikirannya adalah tafakur. Gerak hatinya adalah dzikir. Perasaannya dipenuhi rasa takut (khauf) dan harap (raja’) terhadap Allah.
Demikian pula dengan sikap zuhud Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA. Pikiran dan hatinya terjaga dari pengaruh dan bersandar kepada benda-benda dunia. Apabila memiliki harta benda keberadaannya sama sekali tidak disimpan di dalam hati dan pikirannya. Bagaimana beliau menjaga kesucian pikiran dan hatinya dari pengaruh benda-benda dunia terbukti dari kesederhanaan hidup beliau. Padahal seandainya beliau mau bergelimang harta kekayaan tidak sulit bagi beliau untuk memenuhinya.
Hal ini terbukti ketika Drs. K.H. Ghazali, perintis berdirinya IAIN Sunan Ampel Tulung Agung (sekarang STAIN) mengadukan usaha yang digelutinya mengalamai pailit dan terncam gulung tikar. Mendengar pengaduan tamunya, serta merta Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA merogoh saku jasnya. Ketika beliau mengeluarkan tangannya seketika itu juga segenggam berlian berada di telapak tangannya. “Silakan, kalau usaha Anda ingin kembali”. Kata Mbah K.H. Abdoel Majdid Ma’roef RA sambil mengulurkan tangannya kepada Pak Ghazali.
Kiai asal Sunda yang fasih berbahasa Jawa ini hanya terpana, tertegun dengan kejadian mencengangkan yang baru saja berlangsung di hadapannya. “Mboten, mboten (tidak, tidak)”. Jawabnya tidak berani mengambil berlian yang diberikan Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA kepadanya.
Sikap zuhud juga terlihat dari sikap beliau yang tidak silau dengan kemewahan dunia. Sikap ini tergambar dengan jelas dari setiap kali pelaksanaan Mujahadah Kubro. Tiap pagi hari diadakan acara peshowanan bagi pengamal Wahidiyah. Pada saat sungkeman, tidak sedikit para pengamal Wahidiyah yang memberi uang kepada beliau. Saking banyaknya orang yang memberi uang kepada beliau, sehingga di samping beliau duduk disediakan ember atau kain untuk tempat uang. Namun setelah acara peshowanan selesai, beliau langsung meninggalkan tempat duduknya tanpa menghiraukan uang yang berada di ember yang jumlahnya begitu besar.
Selain tidak bersandar pada uang, beliau juga tidak bersandar pada benda-benda dunia seperti mobil atau kendaraan lainnya. Bahkan menahan keinginannya untuk memiliki fasilitas dunia itu. Apabila hendak bepergian untuk suatu keperluan, beliau lebih suka dan lebih sering naik sepeda ontel (kayuh) atau naik kendaraan umum. Ketika wafatnya Mbah Jalil, Romo K.H. Abdoel Majdid Ma’roef RA bepergian sendirian untuk ta’yizah dengan naik sepeda ontel miliknya. Padahal jarak rumah Mbah Jalil dengan Kedunglo lebih kurang 10 km. Bahkan ketika KH. Zainal Fanani menyampaikan hasil musyawarah dari tokoh-tokoh Wahidiyah yang akan membeli sebuah mobil khusus untuk kepergian beliau ke daerah-daerah menghadiri acara-acara Wahidiyah lebih lancar dan mudah. Dalam kesempatan itu Mbah K.H. Abdoel Majdid Ma’roef RA menjawab, “Perjuangan Wahidiyah kan masih banyak yang perlu dibiayai, kalau saya hadir ke daerah-daerah cukup naik kendaraan umum saja”.
Begitulah sikap beliau terhadap perjuangan Wahidiyah segala yang beliau miliki dikurbankan, tidak hanya tenaga dan pikiran, harta benda yang dimilikinya juga dikurbankan, sehingga kehidupan keluarga beliau jauh dari berkecukupan. Lantas, bagaimana sikap kita terhadap perjuangan Wahidiyah ?
Begitulah sikap zuhud Mbah K.H. Abdoel Majdid Ma’roef RA. Beliau sedikit pun tidak terpengaruh dengan kemewahan dan kemegahan dunia. Kalaupun beliau mempunyai kelebihan harta, harta kekayaannya banyak yang dikurbanlan untuk perjuangan Wahidiyah. Berkaitan dengan masalah ini beliau pernah dawuh, “Kalau takut melarat (miskin) karena perjuangan, apa dunia (kekayaan) ini akan dibawa mati ?
Harta benda itu hanyalah titipan. Pelajaran yang dapat diambil dari kalimat tersebut adalah bagaimana seseorang seharusnya bersikap terhadap harta benda atau kekayaan yang dimilikinya. Harta benda atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang tidak lebih dari sekedar titipan yang suatu ketika akan diambil kembali oleh pemiliknya yang sebenarnya (hakiki).
Titipan merupakan kata benda dari kata kerja titip yang berarti “menitipkan benda atau sesuatu yang dititipkan kepada orang lain”. Dengan demikian yang dimaksud kalimat “harta benda itu hanyalah titipan” kurang lebih berarti bahwa “harta benda yang dimiliki oleh seseorang itu adalah seperti titipan yang diberikan kepada seseorang untuk sementara waktu”.
Harta benda yang dititipkan kepada seseorang itu berarti untuk sementara waktu “dimiliki” oleh seseorang yang dititipi. Sejatinya harta benda tersebut bukan milik orang yang dititipi melainkan milik orang yang menitipkannya. Dikatakan sementara karena harta benda yang dimiliki oleh seseorang sejatinya hanya merupakan titipan dari pemilik yang sesungguhnya yaitu Allah SWT Yang Maha Kaya. Pesan tersebut mengajarkan kearifan bagi siapa saja tentang bagaimana seharusnya bersikap terhadap harta benda. Setiap titipan sejatinya bukan milik dari orang yang dititipi melainkan milik dari yang menitipkannya. Dengan begitu maka ia sadar bahwa harta benda itu bukanlah miliknya dalam arti yang sebenarnya.
Konsekuensinya, seseorang tak semestinya bersandar pada harta benda yang merupakan barang titipan. Sandaran semestinya ditujukan kepada Allah Yang Maha Kaya yang menitipkan harta benda kepada hamba-hambaNya.
Apabila kesadaran seperti itu dimiliki oleh seseorang yang memiliki harta benda, ia tidak akan menyombongkan diri dan pamer kekayaan yang dimilikinya. Karena ia menyadari bahwa harta bendanya itu sesungguhnya merupakan titipan dari Allah yang dititipkan kepadanya. Dengan kesadaran seperti itu, maka harta kekayaan yang dimilikinya bila menyangkut dirinya sendiri akan digunakan seperlunya. Namun bila untuk kepentingan di jalan Allah (fii sabilllah), ia tak akan menghitung berapapun harta yang dikeluarkannya. Karena ia tahu, harta titipan itu telah diberikan kepada Sang Pemiliknya.
D. Pemersatu Ummat
Dalam melaksanakan perjuangan Wahidiyah Mbah K.H. Abdoel Majdid Ma’roef RA tidak membeda-bedakan orang. Siapa pun orangnya, akan beliau siari atau ajak untuk mengamalkan Sholawat Wahidiyah. Selain itu, beliau sama sekali tidak pernah mempermasalahkan asal kelompok seseorang. Dari mana pun kelompoknya tidak menjadi soal. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam penyiaran Sholawat Wahidiyah yang berprinsip tidak pandang bulu.
Perhatiannya dalam membimbing umat agar senantiasa menjaga persatuan dan kesatuan juga beliau tunjukkan ketika mendapat pertanyaan dari seorang pengamal Wahidiyah ketika showan kepada beliau. Dalam kesempatan itu si pengamal Wahidiyah berujar “Maaf Romo, sekarang saya pindah rumah. Alhamdulillah rumah baru saya dekat dengan masjid. Sehingga saya dapat ikut sholat jama’ah terus setiap waktu. Akan tetapi ketika sholat Shubuh, saya tidak ikut jama’ah sholat. Mengapa ? Tanya Mbah K.H. Abdoel Majdid Ma’roef RA. karena ketika sholat Shubuh imamnya tidak memakai do’a qunut, jawab si pengamal Wahidiyah. Sambil tersenyum tipis, beliau dawuh, “Anda ikut jama’ah saja, ikut imam yang tidak pakai do’a qunut tidak apa-apa, semua itu ada dasarnya, yang penting hatinya (sholatnya) yang khusu’.”
Jawaban Mbah K.H. Abdoel Majdid Ma’roef RA yang begitu sejuk kepada tamunya mencerminkan sikap beliau yang sangat menghormati pendapat orang lain. Beliau tidak menjustifikasi terhadap pendapat yang menyatakan bahwa sholat Shubuh itu harus dengan do’a qunut, tetapi mendirikan sholat Shubuh tanpa menggunakan do’a qunut juga dibenarkan oleh syari’at, karena pendapat itu mempunyai dasar hukumnya.
Masalah do’a qunut adalah masalah khilafiyah (perbedaan pendapat ulama’). Perbedaan pendapat seharusnya menjadi rahmat, sebagaimana pernyataan Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya, ikhtilaafu ummatii rahmatun (perbedaan pendapat di antara umatku adalah rahmat). Perbedaan pendapat akan menjadi rahmat manakala kita dapat menerima perbedaan pendapat itu dengan arif dan bijak serta mau menghargai dan menghormati pendapat orang lain. Namun, sering kali di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita sering kita jumpai, hanya karena perbedaan pendapat masalah kecil, memicu timbulnya perpecahan umat. Hanya karena do’a qunut persatuan dan kesatuan umat Islam jadi ternacam.
Dengan keagungan dan kearifan beliau Mbah K.H. Abdoel Majdid Ma’roef RA, dalam rangka membina ukhuwah Islamiyah di kalanagan umat, dalam Sholawat Wahidiyah terdapat do’a yang memohon terjalinnya persatuan dan kesatuan umat. Sebagaimana do’a yang selalu kita baca ketika bermujahadah :
قَرِّبْ وَأَ لِّفْ بَيْنَنَايَارَبَّنَا
“Pereratlah persaudaraan dan persatuan di antara kami Yaa Allah”
E. Rendah Hati dan Memuliakan Orang Lain
Meski Mbah K.H. Abdoel Majdid Ma’roef RA seorang kiai yang masyhur dan pemimpin umat yang besar, namun sikap dan tutur katanya sangat rendah dan lemah lembut. Ketika bicara dengan para tamunya, meskipun dengan orang yang masih muda, beliau selalu menggunakan bahasa kromo inggil bahkan dengan istrinya ---Nyai Hj. Shofiyah--- sekalipun beliau selalu menggunakan kromo inggil ketika bicara. Itulah sikap tawadhu’ yang selalu beliau lakukan tanpa pandang bulu. Tidak pandang siapa lawan bicaranya, apakah seorang kiai besar atau pun orang biasa.
Sikap memuliakan orang lain, terlihat ketika beliau menjamu para tamunya. Suatu hari Mbah Nyai Hj. Shofiyah mendapat kiriman daging dari ibu Ayub, Kediri. Daging tersebut lantas disate. Setelah satenya siap untuk dimakan bersama-sama dengan keluarganya, tiba-tiba datang beberapa orang yang akan showan kepada beliau. Setelah tamunya dipersilakan duduk dan bicara sejenak, Romo K.H. Abdoel Majdid Ma’roef RA pergi ke belakang untuk menghidangkan nasi dengan lauk sate yang baru saja dimasak oleh Mbah Nyai.
Di ruang makan, Gus Syafi’ sudah siap untuk makan dengan lauk sate yang baru saja matang. Tiba-tiba ayahnya berujar, “Sudah Fik, sate ini dibuat lauk tamu dulu”. Ya, jawab Gus Syafi’. Akhirnya Gus Syafi’ tidak jadi makan. Ah…, makan nanti saja setelah selesainya para tamu. Nanti biar bisa makan dengan lauk sate. Gumam Gus Syafi’ dalam hatinya. Namun, ternyata sate yang dihidangkan untuk para tamunya habis tanpa sisa. Akhirnya Gus Syafi’ tidak dapat menikmati sate yang diinginkannya. Dengan penuh kasih sayang, ayahnya memberi nasihat, “Sudah Fik, makan dengan sambal tahu mentah saja ya, karena satenya habis,”. Ya, jawab Gus Syafi’.
Itulah sikap Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA dalam memuliakan orang lain (tamu). Meski keluarga beliau sangat jarang makan sate, tetapi ketika ada tamu, sate yang akan beliau makan dihidangkan untuk para tamunya. Inilah contoh pengamalan Ajaran Wahidiyah, taqdimul aham fal aham yang beliau ajarkan bagi para pengamal Wahidiyah.
F. Kasih Sayang
Kasih sayang dan perhatian Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA kepada pengamal Wahidiyah begitu sangat besar. Saking besarnya kasih sayang beliau kepada pengamal Wahidiyah sampai-sampai ketika Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA melaksanakan ibadah haji, beliau mendaftarkan secara langsung para pengamal Wahidiyah sebagai penderek Rasulullah SAW. Berikut dawuh beliau sepulang dari ibadah haji. “Alhamdulillah, saya diberi selamat berkat do’a anda semua, dan saya menyampaikan salam dari Rasulullah SAW. Dan para pengamal Wahidiyah sudah saya daftarkan kepada Rasulullah SAW sebagai pejuang, dan salamnya para pengamal sudah saya sampaikan kepada Kanjeng Nabi SAW.
Kasih sayang selain beliau berikan kepada sesama manusia, juga beliau berikan kepada makhluk Allah yang lain. Hal ini dibuktikan dengan sikap beliau yang sangat perhatian terhadap ikan lele piaraannya. Setiap pagi dan sore beliau selalu memberi makan pada ikan-ikan piaraannya yang ada di kolam depan rumah yang lama. Beliau dengan nyata mengamalkan pesan Rasulullah SAW sebagaimana disebutkan dalam kitab Tanbihul Ghafilin bahwa “Orang-orang yang mengasihani akan dikasihani oleh Yang Maha Pemurah. Kasihanilah makhluk yang berada di bumi, niscaya kamu akan dikasihani oleh yang berada di langit”.
G. Shabar
Sifat kesabaran Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA sulit dicari bandingannya. Saking shabarnya, hingga sedikit sekali yang mengetahui beliau sedang marah. Bahkan keluarga dekat beliau sekalipun tidak mengetahuinya. Sifat shabar tersebut sempat menggelisahkan putra-putri beliau. Bagaimana tidak, putra-putri beliau sering merasa merasa berbuat salah, jangankan dimarahi, ditegur saja tidak pernah.
Akhirnya salah seorang putra mengadu kepada ibunya. “Ibu, kami para putra nakal-nakal dan sering berbuat salah, tetapi mengapa bapak tidak pernah menegur, apalagi memarahi kami ? Dengan kasih sayang ibunya menjelaskan, “Kalau engkau ingin mengetahui bapakmu sedang marah lalu menegur dan menasihatimu, perhatikanlah saat beliau menyampaikan fatwa dan amanat. ”Sejak saat itulah para putra-putri beliau mengetahui, bahwa nasihat dan teguran yang disampaikan oleh ayahnya dalam fatwa amanatnya di muka umum juga ditunjukkan kepada mereka.
Sikap kesabaran Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA juga terlihat pada awal-awal Perjuangan Wahidiyah. Tantangan-tantangan muncul dari berbagai kalangan dan daerah. Hampir di setiap daerah yang ada pengamal Wahidiyah di penjuru tanah air ini, muncul kasus tentang Wahidiyah. Seringkali tokoh Wahidiyah daerah harus berhadapan dengan aparat setempat disamping juga dimusuhi oleh kiai dan tokoh masyarakat yang belum mengenal Wahidiyah. Ada juga beberapa tokoh Wahidiyah daerah yang dipanggil ke kantor polisi untuk dimintai keterangannya.
Menghadapi laporan beberapa kasus pengontrasan tersebut Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA mampu menjadikan suasana panas menjadi dingin, lawan menjadi kawan, hati yang suudhon berubah menjadi khusnudhon dengan dawuhnya, “Ngaten nggih, tiyang ingkang ngontrasi dateng Wahidiyah puniko ageng sanget bantuane terhadap Perjuangan Wahidiyah. Sebab, dikontrasi mujahadahe sampeyan mundak mempeng. Perjuangan tambah giat, langkung-langkung menawi tiyang ingkang ngontrasi meniko tiyang ingkang ageng pengaruhe, lajeng cepet dipun tangani masyarakat. Dados musuh meniko teman setia dalam perjuangan. Sebab menawi mboten wonten musuh, namine sanes perjuangan.” (Begini ya, orang yang kontras terhadap Perjuangan Wahidiyah itu besar sekali bantuannya terhadap Perjuangan Wahidiyah. Sebab dengan dikontrasi, Anda lebih rajin bermujahadah. Perjuangan semakin meningkat, lebih-lebih orang yang mengontrasi tersebut adalah orang yang besar pengaruhnya, sehingga cepat mendapat tanggapan masyarakat. Jadi musuh itu sesungguhnya teman setia dalam perjuangan. Sebab kalau tidak ada musuh, namanya bukan perjuangan).
H. Pemaaf
Disamping kesabaran beliau yang luar biasa, Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA juga seorang pemaaf yang ulung. Sikap seperti ini terlihat pada suatu hari Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA pergi ke pekarangan di belakang rumahnya, tiba-tiba beliau melihat pencuri sedang memanjat pohon kelapa. Mengetahui kejadian itu Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA langsung balik pulang dan pura-pura tidak tahu kalau ada pencuri.
Sifat maaf beliau tidak berhenti sampai disitu. Maaf Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA juga beliau berikan kepada seorang santri Kedunglo yang menggosop (memakai) sandal bakiyaknya. Ceritanya demikian, setelah ngimami sholat Maghrib, sandal bakiyak beliau hilang, sehingga beliau pulang tanpa mengenakan sandal. Mengetahui kejadian itu, Shihab ---ketua Pondok Kedunglo saat itu--- mencarinya kesana kemari dan menanyakan kepada para santri. Setelah sandal bakiyak ditemukan, santri yang menggosob itu disuruh untuk mengembalikan dan supaya mohon maaf kepada beliau. Setelah sandal bakiyak dihaturkan, beliau sama sekali tidak memarahi ataupun menegur santri yang menggosob bakiyaknya.
Sikap pemaaf Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA tidak hanya untuk orang lain, tetapi juga diberikan untuk putra-putrinya. Ketika putri beliau, Ning Nurul Ismah, dimarahi habis-habisan oleh ibunya karena baru tiga hari mondok di Mayan, Keras, Kediri pulang ke Kedunglo karena tidak krasan. Namun, ayahnya sama sekali tidak memarahinya seraya berkata, “Wis, nggak usah nangis, kowe mondok nggak krasan nggak opo-opo. Ndisik bapakmu mondok yo nggak krasan kok, dadine podo karo bapak.” (Sudah, ndak usah nangis, kamu mondok tidak krasan tidak apa-apa. Dulu ayahmu mondok juga tidak krasan kok, jadinya sama dengan ayah).
Kisah mengenai sifat maaf Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA juga diceritakan oleh putra beliau yang lain, Agus H. Ahmad Syafi’ Wahidi Sunaryo. Pada tahun 1996 ---tujuh tahun setelah wafatnya Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA--- Gus Syafi’ kehilangan kucing dan ayam kesayangannya. Tidak itu saja, uang untuk ongkos naik haji juga lenyap digondol maling. Gus Syafi’ gelisah, karena ‘azam naik haji yang sudah begitu lama dirindukan dan segera akan terealisasi lenyap begitu saja.
Di tengah kegelisannya, Gus Syafi’ bermujahadah. Dalam mujahadahnya Gus Syafi’ dirawuhi oleh Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA, lantas beliau dawuh, “Sudah Fi’, masalah ini yang membuat semuanya Allah. Hal ini untuk menguji tawakalmu kepada Allah, dan kamu jangan sampai ingin mengetahui siapa yang mengambil uangmu, dan yang mengambil uangmu maafkanlah.”
Semasa hidupnya, Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA sering kehilangan rokok, namun beliau malah berujar, “Siapa yang mengambil, saya maafkan. Semoga yang mengambil mendengarnya”.
Begitulah sifat pemaaf beliau. Maaf beliau akan selalu terbuka bagi siapa pun, tidak hanya bagi kawan-kawannya, namun juga bagi orang-orang yang memusuhi dalam Perjuangan Wahidiyah.
Lingkungan Pesantren
Setelah rencana mondok di beberapa pondok tidak terealisasi ---karena baru beberapa hari diperintah oleh pengasuhnya untuk pulang kembali--- akhirnya Gus Majid belajar ilmu kepada ayahnya sendiri, K.H. Mohammad Ma’roef di pesantren yang didirikan oleh ayahnya yaitu di Pondok Kedunglo. Pesantren Kedunglo didirikan sekitar tahun 1902 oleh K.H. Mohammad Ma’roef.
Lokasi Pesantren Kedunglo sangat strategis, terletak di tepi barat sungai Brantas Desa Bandar Lor, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, sekitar satu kilometer barat kantor Pemerintah Kota Kediri, dengan sistem transportasi yang terjangkau oleh kendaraan umum. Sebuah pasar telah tersedia di sebelah utara pondok tersebut, sehingga memudahkan para santri untuk berbelanja memenuhi kehidupan sehari-hari.
Dari hari ke hari, santri di Pesantren Kedunglo semakin bertambah. Tidak pernah Pesantren Kedunglo kekurangan murid apalagi kehabisan santri. Boleh jadi, kali (sungai) brantas ---di sebelah timur pondok--- sebagai simbol dari santri Kedunglo, karena sungai brantas tersebut tidak pernah kering. Kemajuan Pesantren Kedunglo yang cukup pesat tidak dapat dipisahkan dari kepribadian K.H. Mohammad Ma’roef yang merupakan ilmuwan ternama. Kepesatan Pesantren Kedunglo ini terus berlanjut pada kepemimpinan putra beliau, K.H. Abdoel Majid Ma’roef.
K.H. Mohammad Ma’roef wafat sembilan tahun sebelum kelahiran Sholawat Wahidiyah, tepatnya pada tahun 1954. Sebagai penerus pengasuh dan kepemimpinan Pesantren Kedunglo dilanjutkan oleh putra beliau, K.H. Abdoel Majid Ma’roef dan K. Abdul Malik (adik kandung K.H. Abdoel Majid Ma’roef).
Kemasyhuran dan ketenaran Pesantren Kedunglo kian bertambah seiring dengan kelahiran Sholawat Wahidiyah yang ditaklif (disusun) oleh K.H. Abdoel Majid Ma’roef. Pro kontra pun bermunculan menanggapi kelahiran Sholawat Wahidiyah. Mulai dari ulama’, umara, dan masyarakat bawah pun tidak ketinggalan untuk mendiskusikan mengenai Sholawat Wahidiyah (lebih lengkapnya akan di bahas pada bagian lain).
Walaupun sistem pengelolaan pesantren ini pada awalnya menganut sistem tradisional, namun sejak kepemimpinannya dilanjutkan oleh K.H. Abdoel Majid Ma’roef manajemen pesantren mengalami perkembangan, di antaranya pembaharuan dalam bidang pendidikan. Kalau sebelum kepemimpinan K.H. Abdul Majid Ma’roef kegiatan pendidikan hanya difokuskan pada pendidikan kepesantrenan, maka pada saat kepemimpinan K.H. Abdoel Majid Ma’roef jenis pendidikannya dapat diklasifikasikan sebagai berikut;
1. Pendidikan Sekolah
Pendidikan sekolah yang diselenggarakan di Pesantren Kedunglo adalah Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) -----saat ini pendidikan sekolah di Pesantren Kedunglo sudah ada Sekolah Dasar (SD) dan Pergurun Tinggi------ Sedangkan kurikulum yang dipergunakan adalah kurikulum Depdiknas yang dipadukan dengan kurikulum pesantren.
2. Pendidikan Kepesantrenan
Pesantren Kedunglo selain menyelenggarakan pendidikan sekolah, juga menyelenggarakan pendidikan kepesantrenan. Kegiatan pendidikan kepesantrenan di pesantren ini adalah Madrasah Diniyah (I’dad) dan Pengajian Kitab Al-Hikam. Materi/pelajaran yang disampaikan di Madrasah Diniyah ini meliputi; fiqh, ushul fiqh, tauhid, nahwu, shorof, aqidah akhlak, bahasa Arab, tajwid, qowaidul fiqh, tarih Islam dan tasawuf serta ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Selain kegiatan pendidikan kepesantrenan yang berupa Madrasah Diniyah, santri di Pondok Kedunglo juga diwajibkan mengikuti Pengajian Kitab Al-Hikam yang dilaksanankan tiap Ahad pagi. Pengajian Kitab Al-Hikam ini tidak saja diikuti oleh santri Pondok Kedunglo, melainkan diikuti pula oleh sebagian Pengamal Wahidiyah. Pengajian ini mulai dilaksanakan pada awal tahun 1964 yang pada asalnya dilaksanakan setiap Kamis malam (malam Jum’at) yang diasuh langsung oleh Mbah K.H. Abdoel Majid Ma’roef RA. Namun dalam perjalanannya pelaksanaan pengajian kitab ini diganti setiap Ahad pagi, karena diantara Pengamal Wahidiyah yang mengikuti pengajian banyak yang dari luar daerah Kediri disamping banyak pula sebagai pegawai negeri. Sehingga, apabila Pengajian Kitab Al-Hikam tetap dilaksanakan setiap Kamis malam sedidkit banyak akan mengganggu aktifitas dari para Pengamal Wahidiyah tersebut. Dengan kearifan dan kebijaksanaan beliau Mbah K.H. Abdoel Majid Ma’roef RA, akhirnya Pengajian Kitab Al-Hikam dilaksanakan tiap Ahad pagi.
Pada intinya bahasan dalam Kitab Al-Hikam karya Sekh Ibnu ‘Athoillah adalah tentang tasawuf, karena memang Kitab Al-Hikam merupakan satu di antara sekian banyak dari kitab tasawuf. Lalu mengapa beliau K.H. Abdoel Majid Ma’roef RA memilih Kitab Al-Hikam sebagai kitab dalam pengajiannya, kok tidak kitab-kitab lain yang dipakainya ? Untuk menjawab pertanyaan ini, seharusnya mendapat jawaban langsung dari beliau Mbah K.H. Abdoel Majid Ma’roef RA, namun sayang beliau sudah wafat. Akan tetapi sebagai bahan analisis setidaknya kita dapat mengetahui jawaban dari pertanyaan itu, apabila kita mengetahui betapa besar dan manfaatnya mengerti dan memahami isi yang tertuang dalam Kitab Al-Hikam, yang akan mengantarkan seseorang menjadi ma’rifat.
Betapa tidak dikatakan penting mengaji kitab ini, sampai-sampai Kiai Hamid (almarhum) Pasuruan ---yang dienal sebagai seorang wali)--- menyuruh seseorang untuk mengaji Kitab Al-Hikam. Kisahnya, “ Pada suatu hari Kiai Hamid menyuruh salah seorang tamunya agar ngaji Kitab Al-Hikam. Maka si tamu mendatangi beberapa pondok pesantren kalau-kalau pesantren yang didatanginya mengadakan pengajian Kitab Al-Hikam. Setelah menemukan pondok yang menyelenggarakan pengajian Kitab Al-Hikam, orang tersebut mengikutinya bebrapa kali kemudian pulang dan showan kepada Kiai Hamid. Belum sempat orang tersebut berkata sepatah kata pun, Kiai Hamid sudah mendahuluinya “Kamu masih belum mengaji Kitab Al-Hikam”. Orang tersebut lantas pulang dan kembali mencari pesantren yang mengadakan pengajian Kitab Al-Hikam. Setelah sekian lama mencari, orang tersebut akhirnya mendapat informasi bahwa di Pondok Kedunglo Kediri diadakan pengajian Ahad pagi yang membahas Kitab Al-Hikam. Orang itu pun segera ke Kedunglo dan mengikuti pengajian Al-Hikam beberapa kali. Setelah dirasa cukup, dia kembali showan kepada Kiai Hamid. Seperti peristiwa sebelumnya belum sempat orang tersebut berkata sepatah kata pun, Kiai Hamid buru-buru berkata “Nah, kalau sekarang kamu sudah benar-benar mengaji Al-Hikam”.
Mengaji Al-Hikam itu juga dipengaruhi oleh siapa yang menyampaikan pengajian itu. Kisah di atas merupakan bukti, disamping betapa pentingnya mengaji Kitab Al-Hikam itu, ternyata mengaji Al-Hikam di Kedunglo mempunyai nilai lebih. Di antara kelebihan/keutamaan mengaji Al-Hikam di Kedunglo adalah karena pengasuh/pembimbingnya, Mbah K.H. Abdoel Majid Ma’roef RA, menurut keyakinan Pengamal Wahidiyah beliau adalah seorang sulthonul auliya’/Ghouts hadzazaman. Banyak kisah-kisah yang penuh hikmah yang dialami oleh para peserta pengajian Al-Hikam.
Semasa hidupnya Mbah K.H. Abdoel Majid Ma’roef RA sangat istiqomah dalam melaksanakan pengajian Al-Hikam. Pengajian tidak pernah libur kecuali ada udzur (halangan) yang sangat, pengajian hanya libur/isirahat pada bulan Ramadhan dan bertepatan dengan pelaksanaan Mujahadah Kubro. Setiap kali setelah khatam dalam pengajian Kitab Al-Hikam akan diulanginya lagi sampai beliau wafat. Setelah beliau wafat, pengajian Al-Hikam diteruskan oleh putra beliau yaitu, K.H. Abdul Latif Majid dan K.H. Abdul Hamid Majid sampai sekarang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
IBU DITA .(Karyawan) terimah kasih banyak Aki atas bantuanya anka ghoib AKI RANGGONG benar-benar tembus mohon maaf AKI ini pengalaman saya...waktu itu saya pernah minta bantuan pada seseorang yang mengaku pintar meramal angka toto...dan saya harus belajar untuk mendapatkan angkanya sampai saya hutang sana sini tapi apa yang terjadi angka yang saya terimah ngak ada yang keluar manpus dalam hati kecil saya....dimana saya harus bayar hutan yang terlanjur menumpuk...hingga akhirnya saya di kasih inpo teman untuk menjadi member AKI RANGGONG hasil angka ritual ghoib yang di kasih AKI kirim ternyata jitu...akhirnya terbayar hutang saya ini dan saya Membeli 8 unit rumah di Karawang, Tanah Kavling, dan franchise minimarket .hanya sekedar pengalam saya...untuk yang mau mencoba angka ghoib dari AKI RANGGONG silahkan hub/sms di nomor ( 085-222-967-279 ) ngak usah ragu-ragu...karna saya sudah merasakanya..terimah kasih AKI RANGGONG..salam bahagia...!!!
BalasHapusIBU DITA .(Karyawan) terimah kasih banyak Aki atas bantuanya anka ghoib AKI RANGGONG benar-benar tembus mohon maaf AKI ini pengalaman saya...waktu itu saya pernah minta bantuan pada seseorang yang mengaku pintar meramal angka toto...dan saya harus belajar untuk mendapatkan angkanya sampai saya hutang sana sini tapi apa yang terjadi angka yang saya terimah ngak ada yang keluar manpus dalam hati kecil saya....dimana saya harus bayar hutan yang terlanjur menumpuk...hingga akhirnya saya di kasih inpo teman untuk menjadi member AKI RANGGONG hasil angka ritual ghoib yang di kasih AKI kirim ternyata jitu...akhirnya terbayar hutang saya ini dan saya Membeli 8 unit rumah di Karawang, Tanah Kavling, dan franchise minimarket .hanya sekedar pengalam saya...untuk yang mau mencoba angka ghoib dari AKI RANGGONG silahkan hub/sms di nomor ( 085-222-967-279 ) ngak usah ragu-ragu...karna saya sudah merasakanya..terimah kasih AKI RANGGONG..salam bahagia...!!!
YAA SAYYIDII YAA AYYUHAL GHOUTS🤲🏼🤲🏼🤲🏼🙏🏽🙏🏽🙏🏽
BalasHapus