muallif sholawat wahidiyah

muallif sholawat wahidiyah

BAGIAN KELIMA REFLEKSI


BAGIAN KELIMA
REFLEKSI


Teladan yang Baik dalam Segala Hal

Keteladanan Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef Muallif Sholawat Wahidiyah QS RA dapat dilihat dari aspek keulamaannya yang sangat besar sekali dan keteladanannya sebagai seorang pemimpin. Aspek keulamaannya sangat jelas sekali karena beliau pernah menjadi adalah salah satu anggota Syuriyah Pengurus Cabang Nahdhatul Ulama’ Kota Kediri di tahun 1960-an, disamping sebagai pengasuh Pondok Pesantren Kedunglo. Bukti yang lebih hebat atas keulamaannya adalah buah ta’lifan yang berupa Sholawat Wahidiyah dan Ajaran Wahidiyah. Dari segi kepemimpinan, keteladanannya dapat dilihat dari bagaimana kehidupan beliau yang amat sangat sederhana sekali. Apa yang beliau kenakan adalah apa yang dikenakan untuk senantiasa audensi kepada Allah SWT.
Beliau dikenal sebagai orang yang sangat sederhana, tidak macam-macam dan tidak neko-neko. Apabila berbicara, cukup yang penting dan ada manfaatnya saja. Cara hidup yang beliau jalani merupakan pelajaran bagi setiap orang yang mengenal dan bisa “membaca” perilakunya. Kalau bisa “membaca” setiap perilaku Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef Muallif Sholawat Wahidiyah QS RA, akan memperoleh ilmu yang berharga. Perilakunya merupakan pengamalan dari Ajaran Wahidiyah. Sayangnya, kadang pengamal Wahidiyah kurang pandai membaca apa yang beliau sampaikan. Padahal, apa yang beliau sampaikan sebenarnya merupakan sikap yang seharusnya diambil atau dicontoh oleh pengamal Wahidiyah.
Dalam hal jamuan makan, misalnya, apa yang ada di depannya itulah yang beliau makan. Beliau tidak pernah bergeser kemana-mana. Cara memakan makanan pun sedikit demi sedikit. Bahkan setiap kali makanan yang masuk kemulut harus dikunyah tidak kurang dari dua puluh satu kali kunyahan. Dari cara makannya saja kelihatan, tidak ada sedikit pun hal yang berlebihan. Beliau tidak meletakkan piring makanannya apabila teman sejamuannya belum selesai makannya. Selama waktu makan, beliau sama sekali tidak berbicara.
Terutama pada makanan, beliau paling berhati-hati dalam menkonsumsinya. Tidak hanya halalan thoyyiban yang menjadi pedoman, tetapi beliau juga menjauhi makanan yang berbau syubhat. Bahkan beliau akan muntah, apabila makanan yang dimakan tercampur dengan semut. Makanannya tidak macam-macam meski ada berbagai macam makanan, namun beliau jarang atau sama sekali tidak menyentuhnya.
Dalam hal Perjuangan Wahidiyah beliau menempatkannya pada urutan nomor wachid. Hal ini merupakan pengamalan dari Ajaran Yukti Kulladzi Haqqin haqqoh dan Taqdimul Aham fal Aham. Beliau selalu menomorsatukan Perjuangan Fafirruu Ilalloh wa Rasulihi SAW di atas segala kepentingan. Segala kemampuan beliau curahkan dalam perjuangan suci ini, apapun yang beliau miliki seperti, ilmu, harta, karomah, kedudukan, kesehatan, kesemuanya itu merupakan sarana dalam memperjuangkan Wahidiyah.
Beliau mengamalkan ilmunya tidak hanya dengan pidato di atas mimbar. Namun beliau mengamalkan ilmunya dengan keteladanan. Keteladananlah yang beliau sampaikan kepada masyarakat (pengamal Wahidiyah). Mudah-mudahan pengamal Wahidiyah benar-benar dapat mengambil teladanan dari perilaku dan kehidupan Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef Muallif Sholawat Wahidiyah QS RA. Beliau merupakan contoh dan teladan yang baik dalam segala hal.


Ghoutsu Hadzazzaman

Berdasarkan khusnudhon dan keyakinan pengamal Wahidiyah, bahwa Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef Muallif Sholawat Wahidiyah QS RA adalah seorang Ghoutsu Hadzazzaman. Kesempurnaan arti dan makna, keindahan ungkapan bahasa, keberkahan setiap rangkaian kata dan ketinggian mahabbah dzauqiyyah sifat-saifat Rasulullah SAW serta kedalaman pancaran nur imaniyah yang terkandung di dalam Sholawat Wahidiyah merupakan bukti bahwa beliau Syekh al-Haj Abdoel Madjid Ma’roef Muallif Sholawat Wahidiyah adalah orang yang ‘arif billah, sempurna dan agung disisi Allah SWT wa Rasulihi SAW. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Syekh Musthofa at_Thomum RA dalam kitab manaqibnya Sayyid Muhammad Sirrul Khotami al-Mirghoni RA halaman 81:
………………
………………

“Sesungguhnya sirrinya seorang wali itu ada dalam khizibnya, dan maqamnya ada dalam susunan sholawatnya atas Nabi SAW. Maka beberapa sifat Nabi SAW yang tercantum di dalam susunan sholawatnya adalah menunjukkan derajat dan maqam wali itu”.

Disamping terpancar dalam kandungan Sholawat Wahidiyah, kedudukan dan ketinggian derajat Muallif Sholawat Wahidiyah QS RA juga terwujud dalam lisanul hal dalam menunjukkan ketinggian akhlak, kedalaman ilmu syari’at dan hakikat dan kesempurnaan ma’rifat dalam membimbing umat masyarakat. Maka kita ---pengamal Wahidiyah--- sangat yakin rasanya sulit sekali menenmukan seseorang yang menyamai, apalagi melebihi kedudukan dan derajat Muallif Sholawat Wahidiyah, bahkan tanpa diragukan Muallif Sholawat Wahidiyah adalah sebagai guru agung yang kaamil mukammil (sempurna dan menyempurnakan ma’rifat orang lain) dan seorang Ghouts zaman yang menduduki kedudukan Mujaddid (pembaharu metode) wushul ma’rifat billah atau pembina mental dan ruhani di zaman ini.
Terbukti di zaman ini hanya Muallif Sholawat Wahidiyah yang senantiasa membimbing, mengajak dan mendoakan umat masyarakat tanpa pandang bulu dan golongan untuk sadar ma’rifat kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW melalui bimbingan praktis yang lazim dikenal dengan Ajaran Wahidiyah yaitu; Lillah Billah, Lirrasul Birrasul, Lilghouts Bilghouts, Yukti Kulladzi Haaqqin Haqqoh dan Taqdimul Aham fal Aham Tsummal Anfa’ fal Anfa’. Ajaran ini adalah ajaran yang mencakup Islam, Iman dan Ihsan yang menurut para ulama disebut dengan syari’at, aqidah dan akhlak. Sedangkan menurut para ahli tasawuf disebut dengan syari’ah, hakikat dan ma’rifat. Maka Ajaran Wahidiyah itu adalah ajaran yang berdasarkan Al-Quran, Al-Hadis serta ijma’ para ulama’ Salafus Shalihin.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Sholawat Wahidiyah dan Ajaran Wahidiyah merupakan karunia Allah SWT yang agung nan luhur yang diturunkan melalui Syaikhuna al-fadhil al ‘Alim al ‘Allamah al ‘Arif Billah al Mukarram Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef QS RA. Oleh karena itu merupakan ni’mat yang tiada bandingannya bagi kita yang telah menemukan ---tanpa harus bersusah payah--- dan mengamalkan Sholawat Wahidiyah dan Ajaran Wahidiyah.
Sholawat Wahidiyah dan Ajaran Wahidiyah merupakan suatu doa yang sangat praktis dan tiada bandingannya untuk wushul kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW. Bahkan pada acara Hari Ulang Tahun Sholawat Wahidiyah yang ke-2 Romo K.H. Abdoel Madjid Ma’roef Muallif Sholawat Wahidiyah QS RA “bersumpah” (dawuh) “Kalau memang ada suatu amalan yang lebih cepat dalam hal menyampaikan wushul kepada Allah SWT melebihi amalan Wahidiyah, maka saya akan meguru lagi. Dan selanjutnya saya beserta seluruh pengamal Wahidiyah akan mengamalkan amalan tersebut”.
Sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih pengamal Wahidiyah kepada Muallif Sholawat Wahidiyah QS RA yang dengan ikhlas telah mengijazahkan Sholawat Wahidiyah dan Ajaran Wahidiyah kepada kita semua, tiada lain yang dapat kita haturkan kepada beliau, kecuali kepatuhan dan ketaatan kita terhadap semua yang telah dibimbingkannya, istilah lainnya adalah pasrah bongkokan :Almuridu ‘indal syaikhi kalmayyit ‘inda yadayil ghosili (“seorang murid terhadap gurunya harus seperti mayit di bawah kedua tangan orang yang memandikannya).
Dengan kerendahan hati, duhai Syaikhina wa Murobbina Romo K.H. Abdoel Madjid Ma’roef Muallif Sholawat Wahidiyah QS RA terimalah untaian doa kami : JAZALLAHU ‘ANNA ……………

BAGIAN KEEMPAT WAFAT DAN PEMAKAMAN

BAGIAN KEEMPAT
WAFAT DAN PEMAKAMAN

Lazimnya, seseorang selalu menyembunyikan kepribadiannya, dan tidak banyak yang dapat mengetahui sifat-sifatnya, kecuali ketika orang tersebut berada dalam dua situasi, yakni saat dia tidak mungkin lagi mengenakan topeng yang menyembunyikan wajah aslinya di sepanjang hidupnya; ketika dia dijebloskan dalam penjara, dan disaat dia terbaring mati.
Dalam kedua keadaan tersebut, penglihatan kita memperoleh kesempatan yang sangat langka untuk melihat wajah hakiki seseorang, khususnya dalam keadaan yang kedua, ketika orang itu mati.
Ketika seseorang mencium bau maut, ruhnya menjadi murni, dan disaat seseorang terbujur mati, maka saat itu dia menunjukkan dirinya yang sejati. Hebatnya kematian, mampu membuat seseorang menjadi sepenuhnya telanjang, tanpa bisa berpura-pura. Sebab dia tidak memiliki kesempatan untuk menyombongkan diri. Kematian adalah peristiwa yang sangat besar, yang disampingnya seseorang begitu menjadi kecil. Ruh yang ketakutan, keluar dalam keadaan telanjang dari sarangnya yang sepanjang umurnya mampu menyembunyikan dirinya. Kematian mampu meruntuhkan dinding-dinding persembunyian tersebut, sehingga tak lagi ada yang dapat menyembunyikan sosoknya yang hakiki.
Kematian ini sendiri merupakan suatu seni, dan harus dipelajari sebagaimana halnya dengan seni yang lainnya. Ia merupakan pemandangan yang sangat indah dan sangat detil. Ia merupakan lukisan paling baik tentang kehidupan seseorang.
Amat sedikit orang yang kematiannya merupakan kematian yang indah. Sejarah yang sudah amat tua usianya ini, amat rindu untuk menemukan orang-orang yang mati dalam keadaan baik dan tokoh-tokoh melepas nyawanya dengan indah dan agung. Dapat dipastikan, hanya orang-orang yang tahu bagaimana mereka seharusnya mati sajalah yang tahu bagaimana mereka seharusnya hidup. Benar, bahwa hanya orang-orang yang memandang hidup bukan sekadar adanya nafas yang naik turun sajalah yang tidak memandang kematian sebagai tidak adanya nafas. Akan tetapi nafas itu sendiri adalah amal dan pekerjaan besar, sebagaimana halnya dengan kehidupan.
Kematian orang-orang besar juga tidak satu warna. Tiap-tiap orang akan mati sebagaimana ketika ia hidup. Dia akan mati dalam wujud dirinya yang sejati. Salah satu peristiwa kematian yang amat terkenal adalah kematian Sebastian, Kaisar Romawi yang dianggap sebagai pahlawan. Ketika dia terbaring di tempat tidurnya menjelang saat-saat kematiannya, para pembesar dan panglima-panglimanya berdiri mengelilinginya. Namun, begitu ia menyadari bahwa ia akan segera melepaskan nyawa terakhirnya, serta merta ia bangkit dari tempat tidurnya dan berteriak nyaring “Seorang emperor harus berdiri ketika mati!”. Kemudian dia menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam keadaan berdiri memeluk pundak dua orang panglima perangnya.
Dia adalah orang yang sungguh-sungguh besar. Akan tetapi ada pula mata yang bisa melihat keindahan dan keagungan, keunikan dan kehalusan yang tidak dapat ditangkap oleh mata silau seperti itu. Penglihatan yang tersebut di atas tadi, memandang keagungan dan keindahan pada hiruk-pikuknya medan perang, berkelebatannya mata pedang, dan khususnya sutera yang dikenakan seseorang. Namun dia tidak dapat melihat keindahan dalam aspek yang ideal dan dengan wawasan yang luhur.

A. Hari-hari Terakhir

Setelah mencurahkan segala kemampuan, baik lahiriyah maupun batiniyah lebih kurang 26 tahun lamanya, berjuang dengan penuh kesungguhan bersama para pengikut setia beliau, bergumul dan berdakwah memeberantas penyakit-penyakit hati (hawa nafsu), memanggil umat manusia agar kembali ke jalan Tuhan, berjuang menegakkan nilai-nilai tauhid, maka akhirnya berhasillah beliau dalam menunaikan tugas sucinya, menyiarkan Sholawat Wahidiyah dan Ajaran Wahidiyah kepada umat manusia jami’al ‘alamin.
Namun di balik itu, setelah penyusunan Sholawat Wahidiyah dan Ajaran Wahidiyah sudah mencapai kesempurnaan, pengamal Wahidiyah merasa cemas, karena kesempurnaan tersebut sebagai isyarat bahwa beliau Muallif Sholawat Wahidiyah RA tidak lama lagi akan dipanggil oleh Allah SWT kehadirat-Nya, berpisah dengan pengikut yang telah dibimbingnya.


B. Mujahadah Kubro Wada’

Tanda-tanda akan kewafatan Muallif Sholawat Wahidiyah, Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA makin mendekati kenyataan ketika Mujahadah Kubro bulan Rojab 1409 H/1989 M beliau sudah tidak dapat memberikan fatwa amanatnya. Itulah Mujahadah Kubro Wada’ (perpisahan), karena beliau tidak dapat lagi bersama pengamal Wahidiyah mengiktui Mujahadah Kubro pada tahun berikutnya, sekaligus inilah Mujahadah Kubro terakhir kali yang beliau ikuti.
Kecemasan dan kegundahan begitu tampak di wajah ribuan peserta Mujahadah Kubro yang datang dari penjuru tanah air. Kerinduan akan kesyahduan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an ketika bermakmum sholat kepada beliau sudah tak dapat mereka rasakan. Kelembutan dan keni’matan akan fatwa amanat beliau sudah tak dapat mereka dengarkan. Sungguh, Mujahadah Kubro kali ini terasa begitu pilu dan mendebarkan.
Meski keadaannya sudah sakit parah, pada Mujahadah Kubro gelombang yang ke lima (terakhir), tepatnya hari Ahad malam (malam Senin) beliau masih sempat menyampaikan fatwa amanatnya yang terakhir kali. Mbah K.H. Abdoel Majid Ma’roef RA memang memaksakan dirinya untuk menyampaikan pesan-pesannya yang terakhir kali sambil duduk di dalam kamar untuk memberikan ketentraman ke dalam hati pengikutnya yang sedang dirundung gelisah dan cemas. Dengan suara yang berat dan terbata-bata beliau menyampaikan pesan-pesannya yang terakhir.
Dalam Mujahadah Kubro wada’ inilah beliau menyampaikan mutiara wasiat yang amat berharga bagi pengamal Wahidiyah disamping itu beliau juga memberikan tantangan (kesempatan) kepada pengamal Wahidiyah untuk memperjuangkan Sholawat Wahidiyah dan Ajarannya. Pada Mujahadah Kubro wada’ ini pula beliau Muallif Sholawat Wahidiyah memberikan ijazah Sholawat Wahidiyah kepada seluruh pengamal Wahidiyah secara langsung. Fatwa amanat bersejarah itu berisi antara lain sebagai berikut :

ألسّلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله الذى أتانا بالواحدية بفضل ربنا
ياشافع الخلق الصلاة والسلام عليك نورالحلق هادي الانام
واصله وروحه أدركنى فقدضلمت ابد وربنى

ياصاحب الاسراء والمعراج ياصاحب المقام ياذالدرج
ياخير خلق الله حقااجمعن انت إمام الانبيا والمرسلين
أنت رحيم ونبي أنى أنت رءوف وحبيب المنعم

ياايهاالشفيع يامشـفع كل شفيع هو منك يشفع
والاهل والاولاد واللذ عملا بالواحدية بفضل ذى العلا
يأسيدى والحاضرين الحاضرات ياسيدي والمسلمين المسلمات
يارحمة للعالمين والتمام والخيرمنك والخباح والسلام


ياربنا اللهـم صل سلم على محمد شفيع الامم
والال واجعل الانام سرعين بالواحدية لرب العالمين
يامربنا اغفر ليسر افتح واهدنا قرب والف بيننا ياربنا


اما بعد

• Al-Mukarromin wal mukarromat, para bapak dan ibu Penyiar Sholawat Wahidiyah Pusat, Propinsi, Kodya/Kabupaten, Kecamatan, Desa dan imam-imam jama’ah seluruh tanah air.
• Para bapak, para ibu yang kami muliakan
• Para remaja, para kanak-kanak putra dan putri yang kami sayangi
• Protokol yang kami taati.

Kami ikut memanjatkan puja puji tasyakur kehadirat Allah SWT biqauli alhamdulillahi rabil ‘alamin, terutama sehubungan kita

Setelah mengucapkan salam dan untaian puji syukur kehadirat Allah SWT serta sanjungan sholawat salam barokah kepangkuan Rasulullah SAW, keluarga, sahabat dan para auliya’ min awwalihim ila akhirihim khususnya kepangkuan Ghoutsu hadzazzaman RA, di awal fatwa amanatnya yang terakhir, Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef QS RA menyampaikan sebuah hadits :

اَْلأعْمَالُ بِخَوَا تِمِـهَا
“Segala amal itu tergantung pada penghabisannya”
Amal-amal itu tergantung pada penghabisannya. Jadi kalau penghabisannya ini baik’ semua dihitung baik, tapi kalau penghabisannya jelek, yaa semuanya bisa jadi jelek. Seperti orang hidup, sekalipun selama hidup itu baik, tapi kalau dia ketika menghembuskan jiwa (ruh) itu jelek’ semua jadi jelek, tetapi sekalipun selama hidup baik, yaa baik semua. Artinya yang jelek itu diberi ampun oleh Allah SWT. Makanya banyak doa-doa yang mendoakan agar diberi khusnul khatimah, jadi yang penghabisan itu yang pokok sekali. Karena itu, sekali lagi para hadirin-hadirot mari Mujahadah Kubro tinggal setengah malam ini dengan sungguh-sungguh.


قبلت إجازتك فى هذه الصلوات الواحدية فى العمل والنشر وفى الأجازة فيها. ياايها الذين امنوا صلوا عليه وسلموا تسليما" من صلى علي صلاة صلى الله عليه عشرا" ¢ رواه مسلم ¢ ¢ الاحزب : 56¢
إذا تتلى عليهم ايت الرحمن خروا سجداوبكيا. ¢ مريم :58 ¢
ياأيهاالناس ابكو فإن لم تبقو فتباكوا ¢ رواه ابوداود ¢ ياسيدى يارسول الله لقنوا موتاكم لااله الله ¢ رواه مسلم ¢ قال صلى الله عليه وسلم : من ذكرنى فقد ذكرالله ومن أحبنى فقد أحب الله والمصلى علي ناطق بذكرالله ¢ سعادة الدرين : 512 ¢ وفى الحديث : لن ينجي احدكم عمله قالو ولا انت يارسول الله : قال ولاأنا إلا أن تغمد نى الله برحمته وفى الصحيحين. قام رسول الله حين أترل عليه" وأنذر عشيرتك الاقربين" فقل : يامعشر قريش اشتروا أنفسكم من الله شيأ "ياعباس عم رسول الله لا أغني عنك من الله شيأ" ياصفية عمه رسول الله الا أغني عنك من الله شيأ, يافا طمة بنت رسول الله سلينى من مالى ما شئت لاأغني عنك من الله شيأ. ¢ ارشادا لعباد : 116 ¢

ألطرق إلى الله مشدودة الا على من أقتغى اثر رسول الله صلى الله عليه وسلم. من كان للشرعى إعتراض فهو مخدوع ومغرور وفى رواية مغرور ومخدوع. وأفضل الاوراد ماورد. كل جمع مؤنث. ليت قومى تجمعوا وبقتلى تحدثوا لاأبالى بجمعهم كل جمع مؤنث.

Muqoddimah :





الاممال بخوا تمها. حسنات الابرار سيئات المقربين خاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا. إن الصلاة تنهى عن الفخشاء والمنكر ¢ العنكبوت : 45 ¢ أقم الصلاة لذكري ¢ طه : 14 ¢ ألناس نيام فاءذا ماتوا إنتبهوا. إلا العارفون. ظهور سرالانسان فى الدنيا. ظهور سر الايمان فى القبر. ظهور سر العرفان فى يوم القيامة ألعارف كائن بائن. هم ملوك الاخرة اولئك يلعنهم الله ويلعنهم اللعنون. ¢ البقراة : 159 ¢ ومن يتق الله يجعل له محرجا ويرزقه من حيث لايحتسب ¢ الطلاق : 2¢ ولو أن أهل القراى أمنوا واتقوا. ¢ الاعرف : 96 ¢ أمنوا = بالله : واتقوا = لله.
اتقوالله حق تقاته, ¢ ال عمران : 103 ¢ ادعونى أستجب لكم. ¢ المؤمن : 60¢

الفاحتة. أجزتكم بهذه الصلوات الواحدية نى العمل والنشر وفى الاجازة فيها.
Doa Penutup :

وإنما توفون أجوركم يوم القيامة ¢ ال عمران : 185 ¢
فمن ذحزح عن النار وأد خل ألجنة فقد فاز ¢ ال عمران : 185 ¢
موا السلام عليكم وعليكن ورحمة الله وبركاته.

الفاتحة ياشافع الخلق حبيب الله
اللهم ياواحدياأحد ياسيدى يارسول الله
اللهم كماانت اهله ياربنا اللهم صل سلم
ياشافع الخلق الصلاة اللهم بارك فيما خلقت
ياسيدي يارسول الله وفى هذه المجاهدة
ياايهاالغوث سلام الله الكبرى ياالله


استتغراق
الفـاتحة


بسم الله الرحمن الرحيم, الحمدالله رب العالمين والصلاة والسلام على اشرف المرسلين, وعلى ألـه وصحبه أجمعين. اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا ومولانا وشفيعنا وقرة أعيننا محمد صلى الله عليه وسلم وشرف وكرم ومحمد وعظم نبيك نبي الرحمة صاحب الشفاعة والعناية والكرامه وكاشف الغمه وهادى الامه, وعلى انبيائك والمرسلين وملائكتك المقلربين عليهم الصلاة والسلام وعلى الهم وأصحابهم وجميع الاقطاب واعوانهم من اولهم الى يوم القيامة وغوث هذالزمان واعوانه وسائر اوليائك العارفين أينما كان ا من مشارق الارض الى مغاربها والذين هم فى ارض أندو نيسيأ والاوليـأء التسعة (والشيخ الوالد) واضرابهم رض الله تعالى عنهم, واعا دعلينا من بركاتهم وشفاعاتهم وأمدنا بأمدادهم. امين, امين, امين, يارب العالمين. (وبلغهم سلامنا وتحيتنا وبلغنا شفاعتهم فى دعوتنا ومجاهد تناهذه ياالله, وهذه المجـاهذة الكبرى ياالله ) ياحضراتكم أغيثونا وأشفعوالنا عندربكم فى هذه المجاهدة زفى هذه المجاهذة الكبرى, وفى دعوتنا هذه ياحضراتكم, اللهم ربنا, ربنا, ربنا ظلمنا انفسناوان لم تغفرلنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين, ربنااتنا فىالدنيا حسنة وفى الاخرة حسنة وقناعذاب النار, ربنا هبلنا من ازواجنا وذرياتنا قرة أعين واجعلنا للمتقين.
للمتقين اماما, اللهم بارك فى ادياننا وانفسنا واهلينا زذرياتنا وكل شئ أعطيتنا وفى هذه المجاهذة الكبرى زفى هذه الصلوات الواحدية وجميع ماتعلق بها وفى أولئك الحاضرين الحاضرات. وجميع من عمل بهذه الصلوات الواحدية ومن أعان عليها إلى يوم القيامة, وفى أديانهم وأنفسهم وأهليهم وذرياتهم وكل شئ أعطيتهم. (يامنزل البركات ) بركة عظيمة محيطة عامة ظاهرة وباطنة فى الذين والدنيا والاخرة – اللهم ياالله – اللهم يسر – يسر – يسـر ياالله ( اللهم اشفنا وإياهم )(وطول أعمارنا وأعمارهم بالبركة العظيمة )(اللهم أعنا وقوناعلى ذكرك وشرك وحسن عبادتك ) اللهم ياالله, ياالله, ياالله (يامجب الدعوات )(ياقادر على كل شئ ) ياارحم الرحمين ,اللهم صلى على سيدنا محمد صلاة دائمة نسألك بها (يامجيب الدعوات ) من لدنك قلوباصافيه وعلومانا فعة واعملا مقبولة وذنوبا مغفورة وامورا ميسرة.
ميسرة وارزاقا واسعة مباركة وحوائج مقضية والعفو والعافيه الدين والجنيا والاخرة, والاستقامة التامة وحسن الخاتمة, وذرية طيبة واغفرلنا وارحمنا ورضناوكلنا, لنا ولابائنا وأمهاتنا وإخوائنا ومشايخنا ومن له حق علينا وعليهم وهؤلاء الحاضرين والحاضرات فى هده الجاهدة الكبرى وجميع من عمل بهذه الصلوات الواحدية ومن أعان عليها إلى يوم القيامة اللهم ياالله (يامجيب الدعوات ) ياارحم الرحمين , والحمد لله رب العالمين.
(اللهم بحقاسمك الاعظم, وبجاه سيدنا محمد صلى الله عليه وسلم, وبركة غوث هذا الزمان وأعوانه وسائر اوليائك ياالله, ياالله, ياالله رضى الله تعالى عنهم ) بلغ جميع العالمين نداء ناهذا واجعل فيه تأثيرا بليغا
فإنك على كل شئ قدير, وبالإجابة جدير

ففروألى الله
وقل حاء الحق وزهق الباطل إن الباطل كان زهوقا
الفـاتحة

……………………………………………………..
……………………………………………………..
………………………………………………………



Fatwa amanat tersebut merupakan “amanah” bagi seluruh pengamal Wahidiyah untuk melaksanakan dawuh-dawuh di atas, salah satunya yang paling esensi adalah bahwa pengamal Wahidiyah berkewajiban untuk menyiarkan Sholawat Wahidiyah dan Ajaran Wahidiyah kepada masyarakat jami’al ‘alamin tanpa pandang bulu dengan berprinsip arif dan bijaksana.
Tenggat setengah bulan setelah menyampaikan fatwa dan amanatnya yang terakhir dalam Mujahadah Kubro bulan Rojab, Mbah K.H. Abdoel Majid Ma’roef RA wafat, showan kehadirat Allah SWT dengan tenang, tepatnya hari Selasa Wage tanggal 29 Rojab 1409 H bertepatan dengan tanggal 7 Maret 1989.


C. Pemakaman

Berita wafatnya Mbah K.H. Abdoel Majid Ma’roef RA terus menyebar. Tidak saja ke kota Kediri, tetapi juga menyebar ke Nganjuk, Blitar, Tulungagung, Jombang dan kota-kota lainnya di Jawa Timur. Berita itu tersebar utamanya melalui mulut ke mulut, juga melalui media massa dan lain sebagainya.
Pengamal Wahidiyah dari berbagai penjuru tanah air mulai berdatangan,tidak hanya dari wilayah Jawa Timur, tetapi dari Jawa Tengah, Jawa barat dan dari Jakarta pun berjubel datang ke Kedunglo. Lautan manusia datang dengan rona muka yang sama; kepedihan yang mendalam atas berpulangnya salah seorang pelita hati dan teladan kehidupan. Mereka datang dengan satu tujuan yaitu untuk berta’ziyah dan melepas kepergian Mbah K.H. Abdoel Majid Ma’roef RA ke tempat pembaringannya yang terakhir.
Prosesi pemakamannya berlangsung pada pagi hari tepatnya hari Rabu Kliwon, 30 Rajab 1409 H bertepatan dengan 8 Maret 1989 M. Sebelum pemakaman, shalat jenazah untuk almaghfurlah dilaksanakan di Masjid Kedunglo. Sholat jenazah didirikan berulang-ulang dengan jumlah jama’ah yang mencapai ribuan.
Setiap kali setelah sholat jenazah dilanjutkan dengan mujahadah. Sholat jenazah pertama dilaksanakan setelah sholat isya’ dan berlanjut terus menjelang sholat Shubuh. Pada saat sholat Shubuh dilaksanakan, keranda jenazah Mbah K.H. Abdoel Majid Ma’roef RA dibawa ke ndalem (rumah). Hal ini dilakukan untuk menghindari ribuan penta’ziyah yang berebut untuk memikulnya. Banyak orang yang kecele, ribuan orang yang bermaksud mengangkat keranda jenazah beliau. Namun toh demikian ---meski tidak kesampaian mengangkat keranda jenazah-- mereka terasa sudah puas apabila sudah dapat menyentuh keranda jenazahnya.
Tempat pemakaman yang terletak di dalam ndalem, dipenuhi dan dikelilingi ribuan orang-orang yang ingin memberikan penghormatan terakhir untuk Mbah K.H. Abdoel Majid Ma’roef RA. Di dalam ndalem tampak anggota keluarga, para pimpinan PSW Pusat dan kerabat dekat beliau yang sibuk mempersiapkan pemakaman.
Dalam upacara pemakaman disampaikan hasil “Putusan Keluarga” yang disampaikan oleh Bapak A.F Baderi selaku Ketua I PSW Pusat. Para penta’ziyah dengan penuh khidmad mengikuti upacara pemakaman. Kalimat nida’ Yaa Sayyidii Yaa Rasulalloh, Yaa Sayyidii Yaa Ayyuhal Ghouts terus bersahutan, isak tangis tak henti-hentinya terdengar dari para penta’ziyah. Suasana hening ketika pelan-pelan jenazah Mbah K.H. Abdoel Majid Ma’roef RA diturunkan ke liang lahat. Lantunan adzan segera terdengar “Allahu Akbar, Allahu Akbar” kumandang Agus Abdoel Latif Majid yang berada di dasar kuburan setelah jenazah dibaringkan.
Inilah hari terakhir perjumpaan seluruh pengamal Wahidiyah kepada beliau Mbah K.H. Abdoel Majid Ma’roef Mu’allif Sholawat Wahidiyah QS RA. Ribuan orang menangis, memang seharusnya orang-orang tak perlu menangis, karena orang yang mereka cintai telah kembali di sisi Tuhannya dengan hati yang tunduk. Akan tetapi tangisan itu adalah ungkapan tulus dari dasar jiwa mereka yang paling dalam, yang mengekspresikan duka yang mendalam atas meninggalnya seorang figur panutan, seorang yang telah menyelamatkan mereka dari jurang kedhaliman, seorang dokter jiwa yang telah membersihkan hati mereka sehingga dapat sadar ma’rifat kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW. Siapakah yang akan meneruskan perjuangannya ?

* * *
Tidak diragukan lagi, bilamana pengamal Wahidiyah mengkaji berbagai aspek kehidupan dari kepribadian Mbah K.H. Abdoel Majid Ma’roef RA sebagai seorang manusia, kepala keluarga, anggota masyarakat, ulama (kiai), pemimpin, pemandu dan guru ruhani, beliau akan sampai kepada kesimpulan bahwa kesempurnaan beliau dalam segala sisi adalah bukti yang tegas bahwa beliau adalah Sulthanul auliya’ fii zamanihi atau Ghoutsu hadzazzaman.
Beliau Mu’allif Sholawat Wahidiyah QS RA memberikan sumbangan yang menakjubkan bagi kesejahteraan umat manusia. Beliau menta’lif (menyusun) Sholawat Wahidiyah yang dirangkai dengan Ajaran Wahidiyah, yang tidak dimiliki oleh Sholawat lainnya. Beliau membawa ajaran yang universal, namun simpel dan praktis; Lillah Billah, Lirrasul Birrasul, Lilghouts Bilghouts, Yukti kulladzi haqqin haqqoh, Taqdimul aham fal aham tsummal anfa’ fal anfa’.
Inilah risalah yang manusia ---sekali lagi--- telah kehilangan bimbingannya. Maka, mengapakah kita tidak datang lagi ke bawah naungannya agar umat manusia terselamatkan dari kehancuran dan dapat mencapai kedamaian, kemajuan dan kebahagiaan dunia akhirat ?





Kedunglo dicekam kegelisahan total. Kebingungan dan kecemasan melanda para pengamal Wahidiyah. Berita-berita yang mereka terima menunjukkan, bahwa kondisi Mbah K.H. Abdoel Majid Ma’roef RA telah sangat kritis, dan sangat sedikit harapan untuk sembuh. Ini menunjukkan bahwa kehidupannya tinggal beberapa saat lagi. Sejumlah Pengamal Wahidiyah sangat ingin melihatnya dari dekat, tetapi kondisinya yang parah tak mengizinkan siapa pun untuk menjenguk ke ruangan beliau dirawat, kecuali anggota keluarganya.







BAGIAN KETIGA PERJUANGAN MBAH K.H. ABDOEL MADJID MA’ROEF RA

BAGIAN KETIGA
PERJUANGAN
MBAH K.H. ABDOEL MADJID MA’ROEF RA


A. Kelahiran Sholawat Wahidiyah

1. Latar Belakang Lahirnya Sholawat Wahidiyah

Kerusakan mental manusia di tahun 1960-an telah diambang pintu kehancuran, dilanda arusnya nafsu hingga manusia tenggelam dalam lautan munkarat akibat dari kebodohannya tentang keimanan (kesadaran) kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW.
Kehidupan manusia sudah tidak lagi mengindahkan nilai-nilai ajaran agama, sehingga melahirkan manusia-manusia yang amoral (tidak berakhlakul karimah). Di tengah kehidupan manusia yang kehilangan pegangan hidupnya itulah, tampil seorang yang sangat perhatian akan kelangsungan keselamatan kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Beliau adalah Abdoel Majid Ma’roef, seorang kiai yang sangat bersahaja dan tawadhu’.
Keprihatinan beliau terhadap kondisi kehidupan manusia yang semakin jauh dari Allah SWT dibuktikan dengan riyadhoh yang begitu luar biasa beliau lakukan. Segala jenis dan macam doa beliau amalkan untuk memperbaiki atau membangun mental (akhlak) manusia yang hampir di jurang kehancuran. Karena kesungguhan Mbah K.H. Abdoel Majid Ma’roef RA dalam bermunajat kepada Allah SWT, sekitar awal bulan Juli 1959, beliau menerima suatu alamat ghaib ---istilah beliau--- dalam keadaan yaqudhotan (sadar dan terjaga), bukan dalam keadaan mimpi. Maksud dari alamat ghaib tersebut adalah “supaya ikut berjuang memperbaiki mental masyarakat lewat jalur bathiniyah”.
Setelah menerima alamat ghaib tersebut beliau sangat prihatin, kemudian beliau mencurahkan atau memusatkan kekuatan bathiniyah, bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam bertaqarrub (mendekatkan) diri kepada Allah SWT, memohon bagi kesejahteraan umat masyarakat, terutama perbaikan akhlak dan kesadaran kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW. Doa-doa atau amalan yang belaiu perbanyak adalah doa sholawat, seperti; Sholawat Badawiyah, Sholawat Nariyah, Sholawat Munjiyat, Sholawat Masisiyah dan sholawat yang lainnya. Boleh dikatakan, bahwa hampir seluruh doa yang beliau amalkan untuk memenuhi maksud alamat ghaib tersebut adalah doa sholawat.
Dimanapun dan kapanpun beliau berada, senantiasa beraudensi (berhubungan) dengan Allah SWT dengan membaca sholawat, sehingga tidak ada waktu sedetik pun terlewatkan tanpa berhubungan kepada Allah SWT. Ketika bepergian dengan sepeda ontel (kayuh) beliau memegang setir sepeda dengan tangan kiri, sedang tangan kanan beliau masukkan ke dalam saku baju untuk memutar tasbih. Untuk amalan Sholawat Nariyah misalnya, beliau sudah terbiasa mewiridkannya dengan bilangan 4444 kali dalam tempo lebih kurang 1 (satu) jam. Untuk meningkatkan taqarrubnya kepada Allah SWT disamping riyadhoh-riyadhoh yang telah dilaksanakan, beliau juga melakukan puasa-puasa sunah terus-menerus.
Tenggat empat tahun setelah melakukan riyadhoh dan munajat dengan penuh kesungguhan bagi keselamatan umat manusia, pada awal tahun 1963 beliau menerima alamat ghaib lagi seperti yang beliau terima pada tahun 1959. Alamat yang kedua ini bersifat peringatan terhadap alamat ghaib yang pertama, yaitu supaya cepat-cepat ikut berusaha memperbaiki akhlak masyarakat melalui saluran bathiniyah. Maka beliau pun meningkatkan mujahadahnya, bermunajat kepada Allah SWT, sampai-sampai kondisi fisik beliau seringkali terganggu (sakit-sakitan). Namun, hal itu tidak mengurangi semangat beliau dalam bertaqarrub kepada Allah SWT. Bahkan beliau terus meningkatkan perjuangan bathiniyahnya.
Tidak berselang lama dari alamat ghaib yang kedua itu ---masih di tahun 1963---beliau menerima alamat ghaib dari Allah SWT untuk yang ketiga kalinya. Alamat yang ketiga ini jauh lebih keras lagi dari alamat yang pertama dan kedua. Berikut penuturan beliau dalam bahasa Jawa: “Malah kulo dipun ancam menawi mboten enggal-enggal nglaksanaaken” (Bahkan saya diancam kalau tidak cepat-cepat melaksanakan). “Saking kerasipun peringatan lan ancaman, kulo ngantos gemeter sak bakdanipun meniko” (Karena kerasnya peringatan dan ancaman, saya sampai gemetar sesudah itu).
Selanjutnya beliau pun prihatin lagi dan terus meningkatkan mujahadahnya, memohon kehadirat Allah SWT. Dalam situasi bathiniyah yang senantiasa bertawajjuh (mengarah) kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW itu ---masih di tahun 1963--- beliau menyusun suatu doa sholawat. “Kulo lajeng ndamel oret-oretan” (Saya lantas membuat coret-coretan), istilah beliau, maka tersusunlah Sholawat Ma’rifat (Allohumma kama anta ahluh dst.). Penjelasan secara rinci dan lengkap tentang penyusunan Sholawat Wahidiyah akan dibahas pada bab lain.
Betapa besar perhatian dan kecintaan Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA kepada umat manusia. Saking cinta dan kasihnya, beliau rela untuk melakukan riyadhoh yang begitu berat, lahiriyah dan bathiniyah beliau benar-benar hanya difokuskan untuk bermujahadah, bermunajat kepada Allah SWT guna mengemban misi yang begitu mulia dari Allah SWT untuk menyelamatkan akhlak manusia dari kebinasaan.


2. Tahapan Penyusunan Sholawat Wahidiyah

Penyusunan Sholawat Wahidiyah dilakukan secara bertahap oleh muallifnya. Hal ini tentu mengandung sirri atau rahasia-rahasia yang kita tidak mengetahui secara pasti, disamping itu penyempurnaan penyusunan Sholawat Wahidiyah disesuaikan dengan situasi dan kondisi umat manusia di dunia.
Susunan Sholawat Wahidiyah ---seperti susunan sekarang ini--- diawali dengan tersusunnya Sholawat Ma’rifat yang disusun pada tahun 1963. Susunan Sholawat Ma’rifat adalah sebagai berikut :








Dalam Sholawat Ma’rifat tersebut belum ada kalimat Yaa Allah setelah kalimat tamaama maghfiratika dan seterusnya seperti seperti yang ada dalam susunan Sholawat Wahidiyah sekarang ini.










……………………………………………...…………..
Beberapa waktu kemudian ---masih di tahun 1963--bertepatan dengan bulan Muharram, Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA menyusun sholawat lagi, yaitu :







Sholawat tersebut kemudian diletakkan pada urutan pertama dalam sususan Sholawat Wahidiyah. Karena lahirnya sholawat ini pada bulan Muharram, maka Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA menetapkan bulan Muharram sebagai bulan kelahiran Sholawat Wahidiyah yang diperingati ulang tahunnya dengan pelaksanaan Mujahadah Kubro pada setiap bulan tersebut.
Pada pengajian kitab Al-Hikam ---dilaksanakan setiap Ahad pagi di masjid Kedunglo--- Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA menjelaskan tentang Haqiqotul wujud sampai pengertian dan penerapan Bihaqiqotil Muhammadiyah yang di kemudian hari disempurnakan dengan penerapan Lirrasul Birrasul. Saat itulah ---masih di tahun 1963--- tersusun sholawat yang ketiga :









Sholawat ini disebut Sholawat Tsaljul Qulub (Sholawat Pendingin Hati). Nama lengkapnya adalah Sholawat Tsaljul Ghuyub Litabriidi Harorotil Qulub (Sholawat Salju dari alam ghaib untuk mendinginkan hati yang panas).
Ketiga rangkaian sholawat yang sudah tersusun tersebut diawali dengan surat Al-Fatihah, dan diberi nama Sholawat Wahidiyah. Kata Wahidiyah diambil sebagai tabarrukan (mengambil berkah) salah satu asmaul husna yang terdapat dalam sholawat yang pertama, yaitu Waahidu artinya Maha Satu. Satu tidak bisa dipisah-pisahkan lagi, mutlak satu azlan wa abadan. Satu bagi Allah tidak seperti satunya makhluk. Para ahli mengatakan, bahwa di antara khowas (hasiat) al-Waahidu, adalah menghilangkan rasa bingung, sumpek, resah/gelisah dan rasa takut. Barang siapa membacanya dengan sepenuh hati dan khudhu’, maka dia dikaruniai oleh Allah SWT tidak mempunyai rasa takut/khawatir kepada makhluk, dimana takut kepada makhluk itu adalah sumber dari segala balak/bencana di dunia dan di akhirat. Dia hanya takut kepada Allah SWT saja. Barang siapa memperbanyak dzikir al-Waahid al-Ahad atau Yaa Waahid Yaa Ahad maka Allah SWT membuka hatinya untuk sadar bertauhid, memahaesakan Allah SWT (sadar Billah).
Pada tahun 1963 diadakan pertemuan yang diikuti oleh para ulama/kiai dan tokoh masyarakat yang sudah mengamalkan Sholawat Wahidiyah dari Kediri, Tulungagung, Blitar, Jombang dan Mojokerto bertempat di Musholla KH. Abdoel Djalil Jamsaren Kediri. Musyawarah dipimpin langsung oleh Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA. Di antara hasil dari musyawarah adalah susunan kalimat yang akan ditulis dalam lembaran Sholawat Wahidiyah, termasuk adanya kalimat garansi atau jaminan atas usulan beliau sendiri dan disetujui oleh peserta musyawarah. Kalimat jaminan itu berbunyi, “Menawi sampun jangkep 40 dinten mboten wonten perubahan manah, kinging dipun tuntut dunyan wa ukhron” (Apabila sudah genab 40 hari tidak ada perubahan hati, boleh dituntut dunia dan akhirat”).
Menjelang peringatan ulang tahun lahirnya Sholawat Wahidiyah yang pertama (Eka Warsa) pada bulan Muharram 1964 Lembaran Sholawat Wahidiyah mulai dicetak pertama kalinya sebanyak 2.500 lembar dengan susunan sebagai berikut :
Al-Fatihah ………
Allahumma yaa waahidu yaa ahad …….
Allahumma kamaa anta ahluh ………
Yaa syafi’al kholqis sholatu wassalam ………
Dalam lembaran ini juga dilengkapi dengan keterangan tentang cara pengamalannya dan juga kalimat garansi seperti di atas.
Setelah Lembaran Sholawat Wahidiyah beredar secara luas di masyarakat, disamping banyak yang menerima, juga tidak sedikit yang menentangnya /mengontrasnya. Kebanyakan alasan para penentang adalah adanya kalimat jaminan seperti di atas. Mereka memberikan penafsiran tentang garansi dengan pemahaman yang keliru. Mereka beranggapan bahwa “Barang siapa telah mengamalkan Sholawat Wahidiyah selama 40 hari dijamin masuk syurga”. Sebenarnya kalimat garansi tersebut merupakan suatu ajaran atau bimbingan agar pengamal Wahidiyah meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap sesuatu hal yang kita lakukan dengan segala konsekuensinya atau bahasa lainnya adalah “berani berbuat berani bertanggung jawab”.
Setelah peringatan ulang tahun Sholawat Wahidiyah Pertama, di Kedunglo diadakan Asrama Wahidiyah I yang diikuti oleh kiai dan tokoh agama dari Kediri, Blitar, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, Surabaya, Malang, Madiun dan Ngawi. Dalam asrama inilah lahir kalimat nida’ “Yaa Sayyidii Yaa Rasulalloh”. Untuk melengkapi amalan Sholawat Wahidiyah yang sudah ada kalimat nida’ tersebut dimasukkan dalam Lembaran Sholawat Wahidiyah dan tidak ada perubahan sampai tahun 1968.
Dalam Asrama Wahidiyah II (5-11 Oktober 1965) Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA dalam Kuliah Wahidiyahnya menyampaikan tentang Ghoutsu zaman. Pada saat itulah lahir do’a :






Bacaan tersebut merupakan suatu jembatan emas yang dapat menghubungkan manusia yang berlumur dosa dan terbelenggu nafsu kepada Ghautsu Hadzazzaman RA untuk sadar, ma’rifat kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW. Pengamal Wahidiyah menyebutnya “Istighosah”. Kalimat istighosah ini tidak langsung dimasukkan ke dalam rangkaian Lembaran Sholawat Wahidiyah yang beredar di masyarakat, tetapi para pengamal Wahidiyah yang sudah agak lama dianjurkan untuk mengamalkannya terutama dalam mujahadah-mujahadah khusus.
Pada tahun 1965 Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA memberi ijazah lagi berupa kalimat “Fafirruu Ilalloh” dan kalimat “Waqulja al-haqqu wazahaqol baathil innal baatila kaana zahuuqo”. Pada saat itu, dua kalimat tersebut juga belum dimasukkan dalam rangkaian pengamalan Sholawat Wahidiyah, tetapi dibaca oleh imam dan ma’mum dengan bersamaan pada setiap akhir dari bacaan do’a.
Pada tahun 1968 lahir kembali sebuah sholawat :
Yaa robban ...






Pada tahun 1971, menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) di negara kita, lahirlah sholawat :
Yaa Syafi’al Kholqi ….






Sholawat ini kemudian dimasukkan ke dalam Lembaran Sholawat Wahidiyah diletakkan sebelum kalimat “Yaa Robbanallohumma Sholli Sallimi”.
Pada tahun 1973 Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA menambah do’a :
Allahumma baarik ……….






(belum ada kalimat Yaa Allah).




Di tahun yang sama bacaan Fafirruu Ilalloh” dirangkaikan dengan kalimat “Waqulja al-haqqu wazahaqol baathil innal baatila kaana zahuuqo yang didahului dengan do’a :
Allahumma bihaqqis ………







Pada tahun 1976 mulai dilaksanakan nida’ berdiri menghadap empat arah (barat, utara, timur, dan selatan) dengan membaca kalimat Fafirruu Ilalloh pada saat mujahadah dalam rangka peletakan batu pertama Masjid Desa Tanjungsari (Masjid KH. Zainal fanani).
Pada tahun 1978 Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA menambah do’a “Allahumma Baarik fii Haadzihil Mujahadah Yaa Allah” sesudah kalimat “Allahumma Baarik Fiima Kholakta Wahadzihil Baldah”.

Tahun 1981 do’a Allahumma Baarik Fiima Kholakta Wahadzihil Baldah ditambah kalimat Yaa Allah dan do’a Allahumma Baarik fii Haadzihil Mujahadah Yaa Allah diubah menjadi Wafii Haadzihil Mujahadah Yaa Allah. Sehingga rangkaiannya menjadi Allahumma Baarik Fiima Kholakta Wahadzihil Baldah Yaa Allah Wafii Haadzihil Mujahadah Yaa Allah.
Pada tahun 1980 dalam Sholawat Ma’rifat ada tambahan kalimat Yaa Allah setelah kalimat tamaama maghfiratika sehingga kalimatnya menjadi tamaama maghfiratika yaa Allah dan seterusnya.
Pada tanggal 27 Jumadil Akhir 1401 /2 Mei 1981 Lembaran Sholawat Wahidiyah yang beredar di masyarakat diperbarui dengan susunan yang sudah lengkap disertai dengan petunjuk cara pengamalannya, disertai juga dengan Ajaran Wahidiyah serta keterangan tentang ijazah Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA secara mutlak. Susunan Lembaran Sholawat Wahidiyah seperti itu tidak ada perubahan sampai sekarang kecuali beberapa kalimat dalam penjelasan keterangan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan aturan bahasa. (Lihat Lembaran Sholawat Wahidiyah yang ditulis dari tahun ke tahun).


B. Ajaran Wahidiyah

Ajaran Wahidiyah adalah bimbingan praktis lahiriyah dan batiniyah di dalam melaksanakan tuntunan Rasulullah SAW, meliputi bidang syari’at dan bidang hakikat yang mencakup peningkatan iman, pelaksanaan Islam dan perwujudan ihsan serta pembentukan akhlakul karimah.
Kemudian yang dimaksud dengan peningkatan iman yaitu peningkatan menuju kesadaran atau ma’rifat kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW. Selanjutnya yang dimaksud dengan pelaksanaan Islam adalah realisasi daripada ketaqwaan kepada Allah SWT. Sedangkan yang dimaksud dengan perwujudan dari ihsan adalah merupakan manifestasi daripada iman dan Islam yang sempurna.
Yang dimaksud dengan bimbingan dalam memanfaatkan potensi lahiriyah yang ditunjang oleh pendayagunaan potensi batiniyah yang seimbang. Jadi bimbingan praktis tersebut meliputi hablun minallah yaitu hubungan manusia kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW dan hablun minannas yaitu hubungan manusia dengan manusia sebagai insan sosial, yang meliputi hubungan terhadap keluarga, terhadap bangsa, negara dan agama, terhadap sesama umat manusia serta hubungan manusia terhadap makhluk hidup dan lingkungan.
Ajaran Wahidiyah meliputi lima macam, yaitu sebagai berikut :

LILLAH BILLAH
LIRROSUL BIRROSUL
LILGHOUTS BIL GHOUTS
YUKTI KULLADZI HAQQIN HAQQOH
TAQDIMUL AHAM FAL AHAM TSUMMAL ANFA’ FAL ANFA’















C. Mujahadah

1. Pengertian Mujahadah

Jihad atau Mujahadah yang berasal dari kata jahada, yujaahidu mempunyai makna sikap yang bersungguh-sungguh untuk mengerahkan seluruh potensi diri untuk mencapai suatu tujuan atau cita-cita. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:





“Dan barang siapa berjuang sekuat tenaga (jahada) sesungguhnya ia telah berusaha (yujaahidu) untuk dirinya sendiri” (QS. Al-‘Ankabut [29] : 6)





“Dan orang-orang yang berjihad di jalan Allah, maka Allah akan memberikan jalan baginya”. (QS. Al-‘Ankabut [29] : 69) FOOT NOTE 15 (IBID. H. 638

Sedangkan mujahadah menurut ahli hakikat atau tasawuf adalah sebagai berikut :





“Menurut ahli hakikat atau tasawuf jihad adalah memerangi nafsu yang memerintahkan kejelekan (nafsu yang menjerumuskan) dengan memaksa perkara yang berat menurut nafsu itu”. (Jami’ul Ushul : 54)







“Mujahadah ialah menentang nafsu. Menurut sebagian ulama mengatakan, mujahadah itu menentang nafsu dari semua keinginan” (Jami’ul Ushul : 154)





“Nabi SAW bersabda: Yang dinamakan mujahid ialah orang yang menentang nafsu diarahakan untuk taat atau ibadah kepada Allah”. (Jami’ul Ushul : 154)

Kemudian yang dimaksud mujahadah dalam Wahidiyah adalah usaha yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh pengamal Wahidiyah dengan mengamalkan Sholawat Wahidiyah menurut cara-cara yang telah ditentukan untuk memerangi hawa nafsu untuk diarahkan Fafirruu Ilalloh wa Rasulihi SAW.


2. Fungsi Mujahadah





“Mujahadah di dalam Alah SWT adalah satu sebab yang menentukan untuk wushul kepada Allah atau ma’rifat billah”.





“Dan orang-orang yang berjihad di jalan Allah, maka Allah akan memberikan jalan baginya. Yang dimaksud adalah orang yang berjihad dalam berbuat Lillah (niat hanya mengabdi kepada Allah) maka Allah akan memberikan petunjuk kepadanya.






“Berkata Abu Ali Ad-Daqqoq: Barang siapa yang mengisi bidang lahirnya dengan mujahadah, Allah akan menghiasi batinnya dengan cahaya musyahadah (kesadaran terhadap Allah)”






“Mujahadah adalah kuncinya hidayah, tiada kunci lain selain mujahadah”. (Ihya’ ‘Ulumuddin, Juz I, hal. 39)

Sebagai seorang mujaddid, Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA telah menemukan suatu cara bermujahadah yang sangat mudah dan praktis dalam pengamalannya. Dengan mengamalkan Sholawat Wahidiyah dan Ajaran Wahidiyah dengan sungguh-sungguh dan sesuai dengan bimbingan Muallif Sholawat Wahidiyah akan dapat mengantarkan si mujahid (orang yang bermujahadah) sadar ma’rifat kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW.
Untuk mendorong agar pengamal Wahidiyah selalu berusaha meningkatkan mujahadah, taqorrub dan kembali kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW, maka Muallif Sholawat Wahidiyah RA membimbing para pengamal Wahidiyah dengan bermacam-macam bentuk mujahadah beserta cara pengamalannya. Di antara jenis-jenis mujahadah itu antara lain sebagai beirikut:
a. Mujahadah Yaumiyah
b. Mujahadah Usbuiyah
c. Mujahadah Syahriyah
d. Mujahadah Rubu’us Sanah
e. Mujahadah Nisfu Sanah
f. Mujahadah Kubro
g. Mujahadah Momentil (Mujahadah Waqtiyah)
h. Mujahadah Khusus


Mujahadah Kubro Wahidiyah merupakan salah satu jenis mujahadah yang ada dalam Wahidiyah dan merupakan mujahadah terbesar dalam Wahidiyah. Mujahadah Kubro diikuti oleh seluruh pengamal Wahidiyah dengan serempak pada waktu dan tempat yang telah ditentukan oleh Muallif Sholawat Wahidiyah QS RA. Tujuan dari pelaksanaan Mujahadah Kubro adalah untuk memohon dan memohonkan kesadaran dan kesejahteraan bagi diri masing-masing, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara dan bagi seluruh umat manusia jami’al ‘alamin. Bero’a dan mengajak seluruh umat manusia dan jin agar segera sadar dan kembali kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW. Bahkan memohonkan barokah dan kesejahteraan bagi seluruh makhluk Allah SWT.
Oleh karena itu bagi pengamal Wahidiyah seharusnya mengahamkan keikutsertaannya melebihi segala aham lainnya untuk menghadiri Mujahadah Kubro. Bagi yang berhalangan hadir karena ada udzur yang tak bisa dielakkan masih ada kesempatan untuk mengikuti Mujahadah Kubro dari tempatnya masing-masing dengan bermujahadah mengiringi waktu-waktu yang telah dijadwalkan oleh panitia Mujahadah Kubro.
Adalah sangat tepat dan patut untuk ditiru, suatu sikap yang dilakukan oleh sebagian pengamal Wahidiyah yang berusaha dengan sungguh-sunguh untuk mengosongkan atau menghentikan dari kesibukan atau aktifitas hariannya dan mencurahkan perhatian dan waktunya hanya untuk mengikuti Mujahadah Kubro yang hanya beberapa hari itu. Apabila kita, misalnya, sebagai karyawan dalam suatu perusahaan alangkah sangat tepat apabila kita mengajukan permohonan cuti guna menghadiri Mujahadah Kubro. Demikian juga dengan pengamal Wahidiyah yang keberatan untuk menghadiri Mujahadah Kubro karena faktor biaya, hendaknya setiap hari menyisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung guna biaya menghadiri Mujahadah Kubro. Mengingat begitu pentingnya acara Mujahadah Kubro, sampai-sampai Muallif Sholawat Wahidiyah pernah dawuh, “Kalau ada pengamal Wahidiyah yang kerja di luar pulau, maka hari rayanya tidak usah pada Idhul Fitri, tetapi diganti saja pada waktu pelaksanaan Mujahadah Kubro agar dapat mengikuti Mujahadah Kubro”
Pada saat berlangsungnya Mujahadah Kubro tahun 1983, PSW Pusat mengadakan musyawarah dengan tokoh-tokoh pengamal Wahidiyah daerah-daerah dan mengadakan penertiban atau penyeragaman bacaaan dalam bermujahadah yang dipandu oleh Kiai Yusuf, Kediri. Sehubungan dengan pertemuan tersebut Muallif Sholawat Wahidiyah QS RA memberi teguran dengan bahasa sindiran yang sangat halus, “Wis karek jupuki iwake, kok dadak ndandani jolo (sudah tinggal ngambil ikannya, kok malah memperbaiki jala). Memperbaiki bacaan mujahadah mestinya waktu lain, tidak waktu Mujahadah Kubro begini”.
Dari dawuh tersebut dapat disimpulkan bahwa menyia-nyiakan waktu saat pelaksanaan Mujahadah Kubro merupakan kerugian yang sangat besar, karena dapat diibaratkan Mujahadah Kubro merupakan masa panen bagi pengamal Wahidiyah. Alangkah sangat ruginya bagi pengamal Wahidiyah yang telah hadir di acara Mujahadah Kubro namun tidak menggunakan waktu itu dengan sebaik-baiknya. Misalnya waktunya hanya digunakan untuk bersenang-bersenang, Mujahadah Kubro hanya merupakan acara pindah tidur dan makan. Waktu dalam Mujahadah Kubro banyak digunakan untuk membicarakan kejelekan-kejelekan teman-teman pengamal Wahidiyah lainnya. Intinya Mujahadah Kubro hanya untuk menuruti hawa nafsu saja. Sungguh hal ini dikecam oleh Muallif Sholawat Wahidiyah.
Ketahuilah, masih banyak teman-teman kita pengamal Wahidiyah di daerah-daerah yang ingin sekali menghadiri Mujahadah Kubro, namun karena berbagai faktor, terutama faktor biaya (keuangan) sehingga mereka tidak dapat menghadiri Mujahadah Kubro. [ Ceritakan kisah seorang pengamal Wahidiyah yang tidak dapat menghadiri Mujahadah Kubro _ Aham_Qomari? ]



D. Tapak Tilas Perjuangan Wahidiyah

PERLU TAMBAHAN RISALAH RASULULLAH SAW
…………
…………





Perjalanan Perjuangan Wahidiyah adalah salah satu gambaran tentang keberadaan Perjuangan Wahidiyah sejak Sholawat Wahidiyah dilahirkan dan disebarluaskan kepada masyarakat umum yaitu mulai tahun 1963 sampai dengan tahun 1989, tahun kewafatan Muallif Sholawat Wahidiyah.
Dalam bagian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana keadaan Perjuangan Wahidiyah dari tahun ke tahun. Liku-liku Perjuangan Wahidiyah akan dibahas pada bagian ini. Mulai dari pahit getirnya, suka dukanya, teror dan ancaman yang dihadapi. Pembahasan ini akan dibagi pada tiga bagian (periode) yaitu; Periode Tantangan dan Pemantapan, Periode Pergolakan dan Periode Kebangkitan.


1. Periode Tantangan dan Pemantapan

Sebagai realisasi dari perintah ghaib agar beliau Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef QS RA ikut berjuang memperbaiki mental masyarakat lewat jalan bathiniyah, maka setelah lahirnya Sholawat Wahidiyah beliau pun segera menyuruh beberapa orang untuk mengamalkannya. Setelah mengetahui hasil uji coba beberapa orang yang mengamalkan Sholawat Wahidiyah (saat itu masih Sholawat Ma’rifat saja) menunjukkan hasil positif, maka beliau lebih giat untuk menyiarkan Sholawat Wahidiyah pada masyarakat umum. Beliau memanfaatkan acara-acara yang dihadiri orang banyak dan tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk memperkenalkan Sholawat Wahidiyah. Hal ini dilakukan karena mempunyai nilai strategis yang amat efektif dari sudut perjuangan. Sebab pada umumnya acara-acara besar akan dihadiri oleh orang-orang terkemuka dan punya pengaruh cukup luas. Hal tersebut merupakan faktor yang perlu diperhitungkan dalam dakwah (syiar) Wahidiyah kepada masyarakat umum. Kehadiran para ulama, umara dan tokoh masyarakat adalah kesempatan emas untuk melakukan penyiaran Wahidiyah.
Tidak ketinggalan pada acara Walimatul Khitan Agus Abdoel Hamid, Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef QS RA mengundang ulama besar dari berbagai daerah di Jawa Timur disamping keluarga dan undangan lainnya. Hadir sebagai bintang tamu (tamu khusus) pada acara yang digelar pertengahan tahun 1964 itu antara lain, K.H. Abdoel Wahab Hasbullah, Pengasuh Pondok Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang yang juga sebagai Rois ‘Am Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) III (1946-1971). Juga hadir K.H. Mahrus Ali Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri yang juga sebagai Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama (PWNU) Jawa Timur dan turut hadir pula K.H. Abdoel Karim Hasyim pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang serta K.H. Hamim Jayuli (Gus Mik) putra K.H. Djazuli Utsman Pengasuh Pondok Pesantren Al Falah Ploso Kediri.
Pada acara Walimatul Khitan ini acara mau’idhatul hasanah (pengajian/hikmah walimatul khitan) ditiadakan. Susunan acara lengkapnya adalah; Pembukaan, Pembacaan Ayat-ayat Suci Al-Quran, Sambutan Panitia Penyelenggara dan sambutan-sambutan. Sambutan shahibul hajah disampaikan oleh beliau Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef QS RA sendiri. Kemudian diteruskan sambutan yang kedua dari K.H. Abdoel Wahab Hasbullah dan sambutan yang ke tiga dari K.H. Mahrus Ali.
Gus Mik yang pada waktu itu mendapat tugas sebagai ketua panitia dalam sambutannya antara lain berkata:

كُلُّ جَمْعٍْ مُؤَنَّثٌ

Kalimat lengkapnya dari syair :

لَيْتَ قَوْمِيْ تَجَمَّعُوْ # وَبِقَتْلِىْ تَحَدَّ ثُوْا
لاَ أُبَا لِىْ بِجَمْعِهِمْ # كُلُّ جَمْعٍْ مُؤَنَّثٌ

Artinya: “Barangkali kaumku berkumpul dan membicarakan tentang cara membunuh aku. Aku tidak peduli dengan kumpul mereka. Sebab orang banyak (beraninya mengeroyok) itu seperti betina (tidak menunjukkan kejantanan)”.

Selanjutnya Gus Mik menyatakan “Saya merasa di tengah-tengah harimau yang besar-besar. Supaya saya tidak takut dan ragu, semua ini saya anggap tidak ada. Dengan nada berat Gus Mik melanjutkan sambutannya, Para hadirin ! Siapakah sebenarnya Agus Abdoel Madjid itu ?, Pertanyaan itu dijawab oleh Gus Mik sendiri; Beliau adalah roisul ‘arifin. Hadirin ! Seumpama beliau Syekh Abdoel Qodir al Jailani masih hidup, saya yakin beliau akan juga ikut mengamalkan sholawatnya Agus Abdoel Madjid ini !”.
Dalam sambutannya sebagai shohibul hajah beliau Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef QS RA memberikan ijazah Sholawat Wahidiyah kepada para tamu yang hadir. Di antara dawuh yang beliau sampaikan dalam sambutannya antara lain sebagai berikut : “Nuwun sewu, kulo nggadahi amalan Sholawat Wahidiyah. Menopo Panjenengan kerso kulo ijazahi ?” (Maaf, saya punya amalan sholawat (Sholawat Wahidiyah). Apakah anda mau saya ijazahi ?). Spontan hadirin menjawab dengan suara gemuruh dan serempak “kerso (mau)”. Di antara mereka ada yang setengan berdiri, bahkan K.H. Wahab Hasbullah dengan berdiri dan mengacungkan tangan menyambut ijazah tersebut dengan suara lantang:

قبلت أ وّلا

(Saya menerima paling dulu) dengan mengulanginya tiga kali.

Atas ijazah yang disampaikan Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef QS RA itu, sambutan-sambutan selanjutnya berisi tanggapan terhadap Sholawat Wahidiyah (Ma’rifat) yang baru saja beliau ijazahkan. Di antaranya tanggapan dari K.H. Abdoel Wahab Hasbullah adalah sebagai berikut “Hadirin! Ilmunya Gus Madjid itu dalam sekali. Ibaratnya sumur yang dalamnya sepuluh meter, sedangkan saya hanya memiliki ukuran (kedalaman) satu sampai dua meter saja”. Lanjut dawuh beliau “Sholawatnya Gus Madjid akan saya amalkan”. Sedangkan sambutan K.H. Mahrus Ali antara lain mempermasalahkan Sholawat Wahidiyah tentang isnad minal adillah dan pertanggungjawaban. Bahkan pada tanggal 28 Desember 1984, K.H. Mahrus Ali membuat selebaran yang isinya mempermasalahkan Sholawat Wahidiyah. Dalam selebaran itu K.H. Mahrus Ali juga menyatakan bahwa santri Lirboyo diharamkan mengamalkan Sholawat Wahidiyah sebab ajarannya bertentangan dengan syari’at. (Isi lengkap dari selebaran KH. Mahrus Ali akan dibahas pada bagian lain).
Atas tanggapan K.H. Mahrus Ali terhadap Sholawat Wahidiyah tersebut, perjuangan Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef QS RA untuk menyiarkan Sholawat Wahidiyah kepada masyarakat umum mulai ada batu sandungannya. Tidak dapat disangkal, K.H. Mahrus Ali merupakan seorang tokoh dan ulama besar yang mempunyai pengaruh cukup luas kepada umat Islam khususnya warga nahdhiyin.
Akibat pernyataan K.H. Mahrus Ali itu muncul isu di masyarakat bahwa Sholawat Wahidiyah itu amalannya jin, barang siapa mengamalkannya akan gila dan masih banyak isu-isu yang intinya mendiskreditkan Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef QS RA dan Sholawat Wahidiyah.
Semua fitnah dan isu-isu yang ditujukan kepada Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef QS RA, beliau tanggapi dengan penuh kesabaran. Beliau tidak patah arang (putus asa), bahkan semakin bersemangat dalam menyiarkan Sholawat Wahidiyah. Semangat juang beliau tidak lapuk oleh hujan tidak lekang oleh panas. Beliau terus dan terus berjuang, semangat juangnya bagaikan kobaran api yang terus membara.
Beliau menyadari, bahwa Perjuangan Wahidiyah tidak akan berhasil manakala tidak didukung dengan kader-kader (pejuang) Wahidiyah yang handal dan militan. Oleh sebab itu, dalam perjuangannya beliau mengadopsi sistem perjuangan Rasulullah SAW. Bersama dengan kader-kader Islam yang militan, Rasulullah SAW berjuang dengan penuh semangat dan kebersamaan. Nyata hasilnya, hanya dalam waktu 23 tahun perjuangan Nabi Muhammad SAW terhadap bangsa Arab berhasil meliputi segala segi dan bidang kehidupan. Ini adalah sukses besar yang menakjubkan dalam sejarah dunia. Kesuksesan Muhammad SAW yang paling menonjol adalah beliau musnahkan sifat kemusyrikan, ditumbuhkan sifat keimanan dan ketauhidan.
Sebelum datangnya Islam, bangsa Arab menyembah patung-patung dan batu-batu berhala dan mereka menyembelih hewan-hewan kurban di hadapan patung-atung itu untuk memuliakannya, dengan harapan mereka (patung-patung dan batu-batu berhala) dapat memberikan pertolongan dan memenuhi kebutuhan yang mereka inginkan. Namun setelah datangnya Islam yang membawa undang-undang dari Allah SWT yakni Al-Quran, maka semua bentuk kemusyrikan itu dilenyapkan.
Sangat tepat, apabila Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef QS RA d awal-awal Perjuangan Wahidiyah segera mengadakan Asrama Wahidiyah yang bertujuan untuk menggembleng dan membina kader Wahidiyah agar mempunyai semangat juang yang tinggi terhadap Perjuangan Wahidiyah.
Asrama yang dilaksanakan pada tahun 1964 ini merupakan Asrama Wahidiyah yang pertama kalinya dan langsung di bawah bimbingan Muallif Sholawat Wahidiyah QS RA selama tujuh hari. Peserta berjumlah puluhan dan sebagian besar adalah tokoh agama (kiai) dan belum semuanya mengamalkan Sholawat Wahidiyah. Ada indikasi kuat bahwa ikut sertanya para kiai dalam Asrama Wahidiyah ini dilatarbelakangi tujuan yang berbeda-beda. Bagi yang sudah mengamalkan Sholawat Wahidiyah, asrama ini merupakan sarana untuk memperdalam pengetahuannya tentang kewahidiyahan. Bagi yang belum mengamalkan Sholawat Wahidiyah, ingin mencocokkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dengan ilmu Wahidiyah, bahkan ada yang terang-terangan ingin beradu ilmu dengan Muallif Sholawat Wahidiyah, seraya berkata “Kalau saya kalah hujjah, saya siap berguru kepada Kiai Madjid”. Satu tahun kemudian, tepatnya tanggal 5 sampai 11 Oktober 1965 diadakan Asrama Wahidiyah yang kedua dengan tujuan pemantapan pengetahuan dibidang kewahidiyahan dan menumbuhkan kecintaan yang tinggi terhadap kader-kader Wahidiyah, sehingga menjadi kader-kader pejuang Wahidiyah yang handal dan militan.


2. Periode Pergolakan

Dalam masa ini Perjuangan Wahidiyah menghadapi satu konflik atau tantangan yang berarti, baik tantangan dari internal Wahidiyah ataupun dari luar Wahidiyah.





………………….
………………….
BERISI AYAT DAN HADIS YANG COCOK

a. Gangguan Internal

1) Kholwah Bening Lodoyo

Perjuangan tanpa adanya hambatan adalah impossible. Demikian juga Perjuangan Wahidiyah mengalami gangguan-gangguan yang ditimbulkan oleh pengamal Wahidiyah itu sendiri. Di berbagai daerah muncul kelompok atau jamaah yang mengaku sebagai pengamal Wahidiyah, tetapi dalam mengamalkan Sholawat Wahidiyah tidak sesuai dengan bimbingan Mu’allif Sholawat Wahidiyah QS RA.
Di daerah Blitar, tepatnya di desa Bening, Kecamatan Lodoyo muncul sebuah kelompok yang dinamai “Kholwah Bening Lodoyo”. Kelompok ini dipimpin Fadlan dan Basthomi, pengamal Wahidiyah yang sangat berpengaruh di daerahnya. Bentuk penyimpangan yang dilakukan antara lain, Mujahadah yang dilaksanakan bersama pengikutnya dia namakan “Kholwah” dengan tata aturan sendiri yang menyimpang dari bimbingan Mu’allif Sholawat Wahidiyah. Membagi-bagikan foto dirinya yang berdampingan dengan Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA dengan kesan bahwa dia berkedudukan seimbang dengan Mu’allif Sholawat Wahidiyah. Bahkan pimpinan Kholwah Bening Lodoyo berencana akan memindahkan pelaksanaan Mujahadah Kubro dari Kedunglo ke Bening Lodoyo.
Sebelum kelompok ini berkembang lebih jauh Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA mengutus dua orang, K.H. Zaenal Fanani dan H. Muhtar Abdoel Hamid, untuk menyampaikan pesan Mu’allif Sholawat Wahidiyah QS RA agar kelompok Kholwah Bening Lodoyo segera kembali dan menjadi satu dengan Kedunglo. Akan tetapi pimpinan Kholwah Bening Lodoyo dan pengikutnya tidak bisa memenuhinya. Mereka menjawab, “Tidak bisa ! Kholwah Bening Lodoyo dengan Kedunglo sigar semongko (Semangka dibelah dua). Kalau ingin mendalami ilmu-ilmu Wahidiyah di Kedunglo dan kalau ingin mendalami Wahdiyahnya di sini (Bening)”. Setelah hasil jawaban dari pimpinan Kholwah Bening Lodoyo disampaikan kepada M’allif Sholawat Wahidiyah QS RA, beliau dawuh “Menawi mboten saged inggih piyambak-piyambak kemawon lan mboten sisah ndamel Sholawat Wahidiyah” ( apabila tidak bisa, ya sendiri-sendiri saja dan tidak usah memakai Sholawat Wahidiyah).
Tidak tahu persis, berapa lama Kholwah Bening Lodoyo terus eksis dengan kegiatannya. Namun pada suatu acara di Kedunglo yang juga di hadiri oleh pimpinan Kholwah Bening Lodoyo dan pengikutnya, K.H. Hamim Djazuli di hadapan hadirin memberi peringatan keras kepada mereka ysng intinya agar kelompoknya segera mohon maaf kepada Mu’allif Sholawat Wahidiyah dan membubarkan kelompoknya serta segera kembali kepada bimbingan Mu’allif Sholawat Wahidiyah SQ RA. Sejak itulah Kholwah Bening Lodoyo dibubarkan.

2) Disharmonisasi antara Pimpinan PSW Pusat

Awal munculnya benih-benih pertentangan antara pimpinan Penyiar Sholawat Wahidiyah (PSW) Pusat berawal dari setelah pelaksanaan Musyawarah Kubro Wahidiyah I yang dilaksanakan tanggal 12-14 Desember 1985 di Kedunglo. Musyawarah Kubro Wahidiyah I didikuti oleh seluruh fungsionaris PSW Pusat, PSW Propinsi, PSW Kabupaten dan Kota se Indonesia dan undangan tokoh-tokoh pengamal Wahidiyah dari berbagai daerah.
Musyawarah Kubro Wahidiyah I menghasilkan beberapa keputusan, di antaranya :
a. Menetapkan Garis-garis Pokok Arah Perjuangan Wahidiyah.
b. Memilih dan menetapkan Dewan Pertimbangan Perjuangan Wahidiyah disingkat DPPW beranggotakan 17 orang, diketuai oleh Agus Abdoel Latif Madjid. Tugas DPPW memberikan nasihat, saran, pertimbangan kepada PSW Pusat. Pada perkembangannya Dewan Pertimbangan Perjuangan Wahidiyah diubah menjadi Majelis Pertimbangan Wahidiyah disingkat MPW, disesuaikan dengan Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga (PD & PRT) PSW 1987.
c. Memilih dan mengangkat personil PSW Pusat, dengan personil sebagai berikut :
Ketua : Muhammad Ruhan Sanusi
Wakil Ketua : K. Muhammad Djazuli Yusuf
Sekretaris I : Agus Imam Yahya Malik
Sekretaris II : Drs. Imam Mahrus Afandi

Dalam perjalanannya, antara PSW Pusat dan MPW tidak dapat bekerjasama sesuai yang ditetapkan dalam Garis-garis Pokok Arah Perjuangan Wahidiyah, sehingga terkesan jalan sendiri-sendiri dalam menjalankan tugasnya. Akhirnya Mu’allif Sholawat Wahidiyah RA dengan arif dan bijaksana membentuk suatu team yang disebut dengan “Team-3” yang beranggotakan, K.H. Ihsan Mahin, K. Mohammad Djazuli Yusuf dan H. Mohammad Syifa’. Jabatan K. Muhammad Djazuli Yusuf sebagai wakil ketua PSW Pusat digantikan oleh Drs. Syamsul Hadi yang pada waktu itu sebagai anggota MPW. Team-3 bertugas mencari penyelesaian berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungan PSW Pusat dan MPW.
Team-3 segera bertindak dengan sigap untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara PSW Pusat dan MPW. Pada tanggal 7 Mei 1989 Team-3 showan kepada Mu’allif Sholawat Wahidiyah RA melaporkan persiapan akan mengumpulkan pihak-pihak yang terlibat dalam berbagai permasalahan dan memohon do’a restu dan petunjuk. Tanggal 9 Mei 1986 Team-3 mengadakan pertemuan yang dihadiri lebih kurang 115 orang terdiri dari fungsionaris PSW Pusat, para anggota MPW, PSW Propinsi Jawa Timur, PSW Kabupaten/Kota Kediri, PSW Malang, PSW Tulungagung, dan para pengamal Wahidiyah yang diundang oleh Team-3.
Pada pertemuan itu Mu’allif Sholawat Wahidiyah RA memberikan fatwa amanat, yang selanjutnya dikenal dengan “Wasiat 9 Mei 1986”. Inilah transkip rekaman Wasiat 9 Mei 1986 :

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
…………………..
…………………..
………………….











Almukarromin wal mukarromat beliau Bapak Kiai Ihsan Mahin, Bapak kiai Djayuli Yusuf, Bapak H. Syifa’ sebagai Team, dan para hadirin hadirot yang kami hormati sebagai undangan dari Team, undangan untuk musyawarah yang kita maklumi dan kita laksanankan.
Pertama-tama kami memanjatkan puja dan puji tasyakur kepada Allah SWT biqauli Alhamdulillai robbil ‘alamin, yang mana dari kita bersama mengadakan musyawarah ada berhasil dengan baik, ya sekalipun ada …. Ini dan itu, tapi toh akhirnya dengan baik. Yah mudah-mudahan musyawarah yang kita laksanakan ini benar-benar diridhoi Alloh wa Rasulihi SAW. Amin.
Terima kasih atas kepercayaan, ya maaf, beliau Bapak Tiga Team dan para bapak dan ibu pada saya untuk mengisi acara yang telah ditugaskan kepada saya ini.
Para hadirin hadirot yang kami muliakan.
Sebelum saya melanjutkan acara, saya harap dengan sangat, satu kali saja; Al- Fatihah. Ya, harap diijinkan, saya mendahului yaitu soal anu, soal yang tadi insya Allah tidak ada hubungannya dengan acara ini. Tapi sekalipun begitu, saya minta diperkenankan untuk bicara di sini. Dan saya mohon restu pada para hadirin hadirot, apa-apa yang saya bicarakan ini nanti benar-benar diridhoi Allah SWT.
Dan …. Ya, maaf…. dan terutama kalau terpaksa kami meninggalkan dunia yang fana ini nanti, yaitu;
Satu, Pondok Kedunglo. Ini adalah peninggalan orang tua saya, tapi ya sayangnya pada waktu itu saya sendirian. Dan insya Allah tidak satu kali saja. Yaitu saya dikatakan, yaitu maksudnya, Anu Djid. kowe karo Malik tak wehi iki. Kowe kidul, Malik lor. Kuwi maksude kanggo ngurip-ngurip pondok lan mesjid” (Itu Djid. Kamu sama Malik tak kasih ini. Kamu selatan Malik utara. Itu maksudnya untuk menghidupkan pondok dan masjid. Penulis.).
Jadi ini berarti bidang puniko dipikulkan pada saya dan saudara, adik saya yaitu Malik, bapaknya Yahya. Dan otomatis bukan materiilnya saja, tapi moril dan materiil. Saya dan Abdul Malik ketika itu. Tapi ya sayang, bapaknya Yahya itu meninggal lebih dulu dari pada ayah saya. Jadi setelah ayah meninggal, saya, hanya saya. Dan ini otomatis saya harus memikul atau bertanggung jawab soal moril dan materiil yang hubungan dengan pondok dan masjid. Dan ini mestinya kalau adik saya, Malik, itu sudah meninggal, mestinya anaknya, yaitu Yahya apabila dia sudah dewasa, mestinya. Jadi dua orang ini, saya dan Yahya. Ini fifty-fifty mestinya. Tapi ya maaf pada Yahya, karena selama ini, semenjak Yahya dewasa saya belum pernah mengutarakan soal ini. Jadi saya terus yang anu, yang mengemudikan masjid dan pondok ini.
Mestinya kalau sepeninggal saya, nanti keluarga saya disamping Yahya. Setengah-setengah atau separo-separo. Kalau Yahya hanya satu dan anak saya dan istri saya dua, ya maaf ya, anak saya berapa. Ini mestinya cara pembagian seperti itu, muwaris mestinya. Tanggung jawab, hak dan kewajibannya mestinya sama. Jadi kalau Yahya umpamanya, saya anu …., Pak Ruhan pernah saya …. anu, ya dengan berguarau … saya katakan …… ini begitu memang. Ini cara adilnya. Lain kalau kompromi. Nanti kalau kompromi lain lagi. Kalau adilnya….. dan mestinya ya. Ya mudah-mudahan senantiasa dapat kompromi. Nanti kalau tidak dapat, terpaksa tidak dapat kompromi, yaitu tadi harus dibagi dua. Yang satu yang 50 persen Yahya, yang 50 persen saya atau sepeninggal saya, ….. anak-anak saya semua, putra dan putri dan istri saya. Ini juga mempunyai hak dan kewajiban. Ini soal pondok dan masjid. Tapi dulu itu, ketika itu masih masjid yang lama dan pondok yang lama itu. Barang kali semua atau sebagian besar sudah tahu.
Lantas soal SMA dan SMP sekarang.
Itu ketika anu, ketika baru didirikan itu, Yahya dan Pak Mahrus datang, kalau tidak salah ini, datang menemui saya. Saya disodori blanko yang supaya neken. Yaitu diadakannya SMP dan SMA, asal tidak yaitu bertentangan dengan hukum agama dan hukum negara, begitu kalau tidak salah. Atau dengan kata lain insya Allah, asal tidak merugikan kedudukan masjid dan pondok, saya ijinkan. Waktu kalau tidak salah yaitu Pak Mahrus dan Yahya. Jadi nanti, ya mudah-mudahan semuanya ini senantiasa dapat kompromi dengan maslahat dan baik, tapi kalau terpaksa ya itu tadi, caranya yang adil, begitu tadi.

Soal Wahidiyah
Seperti kita maklumi bersama atau sebagian besar, yaitu di buku Wahidiyah dan barang kali. Pertama, saya mendapat alamat satu, dua dan tiga. Lantas pada waktu itu saya usaha bermacam-macam. Tapi yang terakhir saya menyusun sholawat. Jadi tegasnya, saya ditugaskan. Ya maaf, ini untuk anu, ya … apa adanya. Untuk ditugaskan seperti yang …. Itu.
Jadi, ya maaf para hadirin dan hadirot dan para penyiar semua ini boleh dikatakan wakil saya. Al wakil atsirul muwakkil. Di ….. ada atau tidak ada atau terutama ada persoalan, muwakkil kuasa penuh. Yaa….. maaf ya, ini. Ya mudah-mudahan saya ini tidak diliputi oleh linnafsi binnafsi. Sekarang ya maaf, secara ringkas.
Ya maaf para bapak para ibu, hadirin hadirot. Ini ya maaf, saya…. Saya akan anu ……. akan menawarkan. Masih sanggup menjadi wakil sayakah atau tidak? Sangguuup (jawab hadirin dengan serempak disertai tangis gemuruh). Ya, maaf ini tidak paksaan. Kalau sudah tidak sanggup, ya silakan. Insya Allah makhluk lain banyak yang mendaftarkan diri, insya Allah. Boleh dicoba, kalau. Tapi awas. Ya maaf, sekali lagi. Masih sanggupkah menjadi wakil saya ? Sangguuup ! (jawab hadirin). Al-Fatihah !
Adapun selama ini, ya maaf para bapak para ibu dengan mati-matian berjuang untuk melaksanakan sebagai muwakkil atau wakil, kami bungkem seribu satu bahasa….Dua patah kata permohonan pada Allah SWT untuk para hadirin hadirot, Jazaakumullohu khoirati wasa’adatiddunya wal akhirah. Amin.
Sekali lagi, ya maaf. Masih sanggupkah para hadirin hadirot ? Sangguuup ! (jawab hadirin). Yah para hadirin hadirot, ya maklum, apabila para hadirin hadirot rela menjadi wakil saya, iyalah tidak apa-apanya. Kecuali hanya, ya keberatan-keberatan dan pengorbanan-pengorbanan. Tidak ada imbal baliknya sama sekali para hadirin hadirot. Sebelumnya saya utarakan, sama sekali saya tidak punya apa-apa untuk, untuk memberi imbal balik kepada hadirin hadirot.
Para hadirin hadirot yang kami muliakan.
Tapi maaf, saya untuk ya para hadirin hadirot menerima dengan rela hati dengan gembira menjadi wakil saya, tapi ya maaf, saya ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Yaitu, segala sesuatu yang negatif yang telah terjadi ini, supaya dibuang sama sekali. Sekali lagi perbuatan-perbuatan yang manapun, ucapan-ucapan yang tidak… yang bertentangan dengan Ajaran Wahidiyah, ini supaya di….dihilangkan sama sekali. Terutama yang hubungan dengan perjuangan. Sanggupkah para hadirin hadirot ? Sangguuup ! (jawab hadirin).
Tuhan sebagai saksi yang agung. Dan, dan dilain itu kalau ya maaf para hadirin hadirot rela dan gembira menjadi wakil saya, saya suruh apa saja apakah mau para hadirin hadirot ? Mau !
Saya tidak maksa pada para hadirin hadirot. Kalau tidak sanggup ya silakan. Kalau sanggup, ya terima kasih sekali. Sekali lagi yaitu kalau sanggup menjadi wakil saya, supaya segala perbuatan dan perkataan maupun apa saja yang merugikan perjuangan terutama yang menjadikan fitnah, terutama ini supaya dibuang sama sekali. Maukah para hadirin hadirot dan bersedia ? Mau !
Dan anjuran supaya senantiasa saling memepringatkan dengan bijaksana. Ya sekali lagi maaf, supaya saling memperingatkan dengan bijaksana. Karena ya seperti kita maklumi, tidak mau memperingatkan sedang situasi membutuhkan, ini berarti merugikan pada pribadi yang tidak mau dan orang yang tidak diperingatkan. Atau dengan kata lain, ini bertentangan dengan Ajaran Wahidiyah.
Ya maaf pada yang bersangkutan. Kami minta dengan hormat dan sangat terutama secara umum, ya bapak dan para hadirin dan para ibu semua yang kami hormati. Ini menyanggupkan diri untuk menjadi wakil saya. Dan pada bapak atau ibu yang bersangkutan sekarang kami mau menunjuk. Kiranya apa ada yang keberatan umpama ada salah satu yang saya tunjuk supaya begini begitu umpamanya ? Sedia ! (jawab hadirin).
Yaitu satu, pada beliau Bapak Baderi. Saya minta supaya duduk di wakil pusat. Karena yaitu, asalnya pimpinan Pusat hanya dua, yaitu beliau Bapak Ruhan Sanusi dan beliau Bapak Kiai Djayuli. Dan saya mohon supaya dengan rela hati suka duduk di situ. Jadi 3 (tiga) orang. Ya mudah-mudahan menjadi manfaat dan barokah.
Dan buat sekretaris, kami mohon yang bersangkutan, yaitu Bapak Mahrus supaya menjadi Sekretaris I dan Yahya menjadi Sekretaris II. Jadi dibalik. Sanggupkah para bapak yang bersangkutan ? Sanggup ! Ya, Alhamdulillah, matur kasuwun. Al-Fatihah !
Selanjutnya saya mohon pada Penyiar Sholawat Wahidiyah Pusat, terutama Dewan supaya lebih, lebih banyak, jauh lebih maju daripada ysng sudah-sudah dalam segala bidang. Sekali lagi Penyiar Sholawat Wahidiyah Pusat terutama dari Dewan. Kami harap dengan sangat dan sungguh-sungguh supaya jauh labih meningkat daripada yang sudah-sudah dalam segala bidang.
Ya maaf. dalam beberapa minggu atau beberapa bulan, apabila perlu kami berhak untuk, anu para hadirin hadirot. Lebih-lebih kalau keadaannya hanya begini-begini saja, bahkan lebih glonjom, bahkan lebih parah. Kami berhak secara mutlak. Lebih-lebih ada persoalannya. Yaa maaf, ini bukan sombong. Ini saya menyatakan sesungguhnya apa yang ada. Ya maaf. Adapun keputusan-keputusan yang yang telah dibicarakan selama ini tadi, kiranya kalau tidak dapat diumumkan sekarang, mungkin lain waktu, mungkin ya lihat situasi. Barang kali begitu, barang kali.
Dan kiranya mari kita tutup yaitu dengan permohonan-permohonan kepada Allah SWT. Dan mari membulatkan tekad, taubat min yaumina hadza ila yaumil qiyamah, tidak akan mengulangi kembali soal-soal yang, yang tidak diridhoi oleh Allah SWT. Soal apa saja, perbuatan apa saja. Dan mari para hadirin hadirot kita mohon pada Allah SWT wa Rasulihi SAW.
Al-Fatihah …………… 1 X
Yaa syafi’al kholqis shoaltu wassalam ………….. 3 X
Yaa Sayyidii Yaa Rasulalloh 7 X
Yaa Ayyuhal Ghoutsu salamullah ……. 3 X
Yaa Syafi’al kholqi habiballahi ………. 3 X
Yaa Sayyidii Yaa Rasulalloh 7 X
Yaa robbanallahumma …….. 3 X
Al-Fatihah ………… 1 X

Ya maaf. termasuk kata-kata saya tadi dan saya ulangi kembali sebagian yaitu setelah bubarnya musyawarah ini, dari kita jangan ada yang membicarakan soal-soal seperti biasa. Biasanya habis musyawarah itu ada saja yang tidak setuju ya begini, yang setuju begitu. Ini semua supaya tutup mulut. Yang tidak setuju terutama, tapi saya yakin, semua setuju menerima. Semua menerima permintaan saya.
Dan masih satu lagi. Yaitu sekarang dan sekalipun saya sudah tidak ada, hendaknya Perjuangan Fafirruu Ilalloh wa Rasulihi SAW ini senantiasa menjadi satu. Dan sini karena tempat lahirnya perjuangan, saya harap supaya tempat seperti yang, untuk acara yang seperti Mujahadah Kubro dan lain-lainnya supaya hendaknya bertempat di sini. Kalau tidak ada udzur yang tidak dapat dielakkan. Dan kemudian kami atas, yaa terima kasih sekali pada hadirin hadirot dan pihak Team dan untuk menghemat wekdal kami hanya dapat yah, ya selamat jalan dan salam-salam. Ya mari saling doa mendoakan, saling memaafkan, ya mudah-mudahan seperti sekarang ini terutama di akhirat nanti bisa menjadi satu di belakang Rasulullah SAW di belakang Ghoutsu hadzazzaman RA, showan di hadapan Allah SWT. Sekian

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Isi dari Wasiat 9 Mei 1986 adalah mengenai tiga hal. Pertama, tentang suksesi Pondok Kedunglo adalah hak waris. Kedua, tentang SMP dan SMA Wahidiyah. Ketiga, tentang Wahidiyah. Mengenai Wahidiyah beliau Mu’allif Sholawat Wahidiyah RA menyatakan bahwa para pengamal Wahidiyah adalah “Wakil saya” (Wakil Mu’allif Sholawat Wahidiyah RA). Kemudian beliau bertanya kepada semua yang hadir dengan nada suara yang tinggi “Masih sanggupkah menjadi wakil saya ? (diulang sampai tiga kali). Insya Allah makhluk lain banyak yang mendaftarkan diri. Kemudian semua yang hadir menjawab, “Sanggup !” disertai dengan tangisan yang melengking.
Selanjutnya dawuh beliau syarat-syarat menjadi wakil, “dan perkataan Segala perbuatan maupun apa saja yang merugikan perjuangan, terutama yang menjadikan fitnah terutama ini supaya dibuang sama sekali”.
Pada bagian akhir Wasiat 9 Mei 1986, Mu’allif Sholawat Wahidiyah RA meminta agar acara-acara besar Wahidiyah, seperti Mujahadah Kubro dan lain-lain supaya dilaksanakan di Kedunglo, kecuali jika ada udzur yang tidak bisa dielakkan.
Meskipun Mu’allif Sholawat Wahidiyah RA menyatakan dengan tegas dalam Wasiat 9 Mei 1986, namun ketidakharmonisan antara PSW Pusat dan MPW terus berlanjut. Puncaknya perbedaan pendapat tentang apakah PSW didaftarkan ke pemerintah atau tidak. Pihak PSW Pusat bersikukuh bahwa PSW harus didaftarkan ke pemerintah untuk memenuhi Undang-undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Sedangkan pihak MPW berpendapat, PSW tidak perlu didaftarkan ke pemerintah dengan alasan bahwa PSW bukan organisasi kemasyarakatan melainkan organisasi kerja seperti halnya pengurus ta’mir masjid.
Tidak ada kata sepakat antara PSW Pusat dan MPW mengenai pendaftaran PSW ke pemerintah. Sehingga masalah itu dishowankan kepada Mu’allif Sholawat Wahidiyah untuk mohon petunjuk. Akhirnya Mu’allif Sholawat Wahidiyah memberi amanat supaya diadakan istikharah mohon petunjuk kepada Allah SWT di antara dua alternatif, PSW didaftarkan atau PSW tidak didaftarakan ke pemerintah. Akhirnya setelah melalui istikharah dan proses yang panjang PSW jadi didaftarkan ke pemerintah.
Meski PSW telah resmi didaftarakan pada pemerintah tidak lantas hubungan kinerja PSW Pusat dengan MPW menjadi harmonis. Setelah berbagai cara dan jalan ditempuh guna kelancaran dan keharmonisan antara PSW Pusat dan MPW berjalan sebagaimana mestinya tidak berhasil, maka dengan arif dan bijaksana, pada tanggal 27 September 1987 Mu’allif Sholawat Wahidiyah RA mengluarkan Surat Keputusan dengan Nomor : MSW/003/1987 tentang pembubaran atau peleburan MPW dan PSW pusat. Dalam SK tersebut dicantumkan juga amar putusan supaya para mantan pimpinan MPW dan pimpinan PSW Pusat mengadakan musyawarah bersama untuk menyusun personil PSW Pusat yang baru.

b. Gangguan Eksternal

Pada mula pertama Sholawat Wahidiyah disiarkan tidak ada satu pun orang yang mempermasalahkannya termasuk ulama. Terbukti, beberapa ulama terkenal Kediri dan sekitarnya yang dikirimi lembaran Sholawat Wahidiyah ---yang masih ditulis tangan oleh santri Pondok Kedunglo--- dengan disertai kata pengantar yang ditandatangani langsung oleh Mu’allif Sholawat Wahidiyah QS RA. Waktu itu tidak ada satu pun dari mereka yang mempersoalkan Sholawat Wahidiyah. “Kabeh dungo Sholawat iku apik” (semua do’a sholawat itu baik) kata seorang ulama NU waktu itu. Bahkan K.H. Abdoel Wahab Hasbullah yang menjadi Rois Am PBNU (1946-1971) pernah memberikn sambutan di dalam acara Hari Ulang Tahun Sholawat Wahidiyah yang pertama dengan mengatakan antara lain, “Ya betul ! Sholawat Wahidiyah memang baik. Saya sudah kenting (mencoba mengamalkan) itu”. Selanjutnya beliau ikrar qabul ijazah do’a : QOBILTU IJAZATUKA FII HADZIHIS SHOLAWATIL WAHIDIYAH (Saya terima ijazah Sholawat Wahidiyah ini ).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada awal mula Sholawat Wahidiyah disiarkan banyak ulama dan tokoh-tokoh masyarakat yang mengamalkan Sholawat Wahidiyah. Baru ketika mulai banyak masyarakat dari berbagai lapisan dan tingkatan ikut mengamalkannya, dan di desa-desa mulai diamalkan dengan berjama’ah, saat itulah mulai timbul suara-suara yang menentang (mengontras) terhadap Sholawat Wahidiyah. Tidak ketinggalan K.H. Mahrus Ali pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri ikut memberi tanggapan terhadap Sholawat Wahidiyah. Selanjutnya akan dipaparkan beberapa tanggapan yang mempermasalahkan Sholawat Wahidiyah dari beberapa ulama.

1) Piagam Ngadiluwih

Pada tahun 1979 terjadi perdebatan antara seorang ulama Nahdhatul Ulama di Kediri dengan seorang ulama Wahidiyah mengenai beberapa masalah diniyah (keagamaan). Untuk memperoleh kebenaran hakiki dan dilandasi semangat ukhuwah Islamiyah, kedua belah pihak bersepakat untuk melakukan musyawarah. Musyawarah dilaksanakan dua kali. Musyawarah pertama dilaksanakan pada tanggal 20 Oktober 1979 M/29 Dzulqo’dah 1399 H, bertempat di rumah K.H. Abu Syujak, Ngadiluwih, Kediri. Musyawarah kedua dilaksanakan pada tanggal 15 Desember 1979 M/25 Muharram 1400 H, bertempat di rumah HBM Muchsin S.M., Badal, Ngadiluwih, Kediri.
Pihak-pihak yang ikut dalam musyawarah adalah :
Pihak I : K.H. Abu Syujak, Ngadiluwih Kediri, bersama-sama dan didampingi oleh:
1. K. Abdoel Mukhith
2. K.H. Akhmadi
3. K. Abdoel Khalim Syafi’
Pihak II : K. Mohammad Ihsan Mahin, PA Rejoagung, Ngoro, Jombang bersama-sama dan didampingi oleh:
1. K. Mohammad Djayuli Yusuf
2. K.A. Ahmad Baidhowi

Dalam dua kali musyawarah yang dipimpin oleh H. Mohammad Syifa’ sebagai ketua dan Drs. Mansur Adnan sebagai sekretaris telah menghasilkan keputusan sebanyak 11 (sebelas) pokok permasalahan, yaitu:
1. Perihal Murobbun fii akhirizzaman
2. Perihal mengapa Sholawat Wahidiyah tidak memilih sholawat yang waridah
3. Perihal Mujaddid
4. Perihal isu bahwa yang tidak mengamalkan Sholawat Wahidiyah kufur
5. Perihal menangis pada waktu orang bermujahadah Sholawat Wahidiyah
6. Perihal membayangkan bentuk Rasulullah SAW dengan menyebut nama Rasulullah SAW
7. Perihal menalqin muhtadhor dengan tuntunan bacaan Yaa Sayyidii Yaa Rosulallah
8. Perihal anak (kanak-kanak) yang tidak masuk sekolah lantaran ikut bermujahadah
9. Perihal makna thoriqoh mu’tabaroh
10. Perihal pengangkatan seorang Mursyid
11. Perihal sebutan (dalam pujian) nama bakdu al- sholihin dari para auliya’ yang digandeng dengan kalimah thoyyibah.

Kesebelas permasalahan di atas dibahas dengan jelas dan tuntas. Disini penulis hanya menyajikan beberapa pokok permasalahan yang dibahas.
Perihal, mengapa Sholawat Wahidiyah tidak memilih Sholawat yang waridah ? Jawaban yang dikemukakan adalah bahwa membaca sholawat kepada Rasulullah SAW dengan doa sholawat yang mana saja mutlak diterima. Baik sholawat yang waridah dari Nabi SAW sendiri (Sholawat Ma’tsurah) maupun dengan sholawat-sholawat yang susunan redaksionalnya disusun oleh para ulama atau yang disebut sholawat ghairu ma’tsuroh. Misalnya, Sholawat Nariyah, Sholawat Munjiyat, Sholawat Badar dan termasuk pula Sholawat Wahidiyah. Sebab perintah membaca sholawat dan salam terdapat dalam Al-Quran dan Hadis Nabi SAW.
QS. AL AHZAB : 56

………



Artunya : Hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. ( QS. Al-Ahzab [33] : 56 )






Artinya : Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa membaca sholawat kepadaku (nabi) satu kali, Allah memberi balasan sholawat (rahmat dan maghfiroh) kepadanya sepuluh kali” (H.R. Muslim)

Kemudian tanggapan mengenai isu bahwa yang tidak mengamalkan Sholawat Wahidiyah itu kufur adalah tidak benar. Akan tetapi siapapun yang tidak berwahidiyah, otomatis masih termasuk musyrikiyah, karena tidak Billah, jadi Binnafsi, meskipun sudah mengamalkan berbagai amalan apa saja termasuk apabila sudah mengamalkan Sholawat Wahidiyah sekalipun.
Mengenai orang yang menangis ketika bertaubat, ketika mendengar Al-Quran atau mendengarkan pengajian atau ketika bermujahadah Sholawat Wahidiyah, dengan tidak pandang tempat dan waktu dengan suara keras sekalipun, adalah perintah agama. Hal ini berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadis :





Artinya : Apabila dibacakan ayat-ayat Allah yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis. ( QS. Al-Ahzab [33] : 56 )




Artinya : Wahai Manusia, menangislah kamu sekalian, jika tidak bisa menangis, usahakanlah agar bisa menangis. ( HR. Abu Dawud )


Selanjutnya mengenai menalqin seorang muhtadhor (orang yang sedang dalam sakaratul maut) dengan tuntunan bacaan Yaa Sayyidii Yaa Rosulalloh tidak bertentangan dengan maksud hadis :



(Tuntunlah orang yang sedang dalam sakaratul maut dengan bacaan “Laa Ilaha Illalloh”).

Karena tuntunan dengan bacaan Yaa Sayyidii Yaa Rosulalloh sama halnya dengan menuntun dengan bacaan “Allah, Allah, Allah.
Dengan talqin Allah, Allah, Allah kita menuntun muhtadhor secara langsung kepada Allah. Sedangkan menalqin dengan Yaa Sayyidii Yaa Rosulalloh kita menalqin dengan bertawasul kepada Rasulullah SAW. Baik secara langsung maupun secara bertawasul, menurut hadis berikut ini hukumnya adalah sama. Rasalullah SAW bersabda, “Barang siapa dzikir kepadaku, maka sungguh ia dzikir kepada Allah. Barang siapa cinta kepadaku, maka sungguh ia cinta kepada Allah, dan orang yang membaca sholawat kepadaku, ia mengucapkan dengan dzikir Allah”.


2) Tanggapan K.H. Mahrus Ali

Sejak awal lahirnya Sholawat Wahidiyah, sebenarnya K.H. Mahrus Ali, pengasuh Pondok Pesantren Liroyo Kediri, sudah mempermasalahkan Sholawat Wahidiyah. Hal ini terbukti ketika K.H. Mahrus Ali memberikan sambutan pada acara Walimatul Khitan Agus Abdoel Hamid Madjid.yang dilaksanakan pada pertengahan tahun 1964 di Kedunglo. Entah mengapa K.H. Mahrus Ali baru menanggapi Sholawat Wahidiyah dengan lebih “serius” dengan membuat selebaran pada tahun 1984 ---21 tahun setelah lahirnya Sholawat Wahidiyah--- yang pada waktu itu Sholawat Wahidiyah sudah diamalkan oleh puluhan ribu masyarakat umum dan menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia.
Selebaran yang dibuat pada tanggal 28 Desember 1984 itu digandakan dan disebarluaskan ke berbagai daerah di Indonesia, di antaranya daerah Jawa Timur, Jawa Tengah dan luar Jawa, antara lain Kalimantan dan mungkin daerah-daerah lain juga dikirimi.
Isi dari selebaran itu berisi tanggapan negatif terhadap Sholawat Wahidiyah, di antara isi pokok selebaran itu antara lain, Sholawat Wahidiyah tidak mempunyai isnad minal adillah, Ajaran Wahidiyah banyak yang bertentangan dengan syari’at Islam, santri-santri Lirboyo diharamkan mengamalkan Sholawat Wahidiyah. Berikut secara lengkap transkip selebaran yang dibuat oleh K.H. Mahrus Ali.



Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

jhglhgj……………..Alhamdulillah, kulo sampun nampi serat. Perkawis Sholawat Wahidiyah puniko damelan/gawe-gawe K.H. Abdoel Madjid Ma’roef piyambak. Mboten anggadahi isnad minal adillah. Milo ulama’-ulama’ Kediri khususipun ugi ulama’-ulama’ Nahdhatul Ulama’ mboten wonten ingkang ngamalaken Sholawat Wahidiyah. Malah santri-santri Lirboyo kaliyan panjenenganipun Kiai Marzuqi Dahlan lan Mahrus Ali dipun haromaken ngamalaken Sholawat Wahidiyah, jalaran ajaranipun katah bertentangan kaliyan syari’at. Matsalan pelajaranipun: Sopo-sopo wonge wis ngamalaken Sholawat Wahidiyah zaman 41 dino ditanggung ing yaumil qiyamah slamet tur mlebu suargo sak anak turune. Puniko naminipun ‘ujub bil a’mal wal ‘ujub bil a’mali minal kabaairi. Wafilhadis :
…………………..
………………..
………….
Puniko hadis awih weruh kaliyan terang bilih Rasulullah kemawon kaliyan keluargo mboten wani tanggung jawab/mboten tanggung jawab benjing yaumil qiyamah. …………..lan dawuhipun Imam Junaid shulthonul ‘arifin ………..

Dalah dateng Allah SWT katah mboten wushul/…..kejawi tiyang-tiyang ingkang anut syari’atipun. Ugi dawuh………….
Wafi riwayat…………………….. tiyang puniko kebujuk howo nafsu ….naudzubillah mindzalik. ……………moco sholawat …….sebab sholawatipun wonten ………..


Itulah selebaran secara lengkap yang dibuat oleh K.H. Mahrus Ali yang menanggapi Sholawat Wahidiyah dengan menggunakan bahasa Jawa, dan apabila dibahasa Indonesiakan akan berbunyi demikian :

“…………..Alhamdulillah, saya sudah menerima surat……… Perkara Sholawat Wahidiyah itu buatan K.H. Abdoel Madjid Ma’roef sendiri. Tidak mempunyai isnad minal adillah. Maka ulama-ulama Kediri khususnya dan ulama-ulama Nahdhatul Ulama’ tidak ada yang mengamalkan Sholawat Wahidiyah. Bahkan santri-santri Lirboyo oleh beliau Kiai Marzuqi Dahlan lan Mahrus Ali diharamkan mengamalkan Sholawat Wahidiyah, sebab ajarannya banyak yang bertentangan dengan syari’at. Misal pelajarannya: Siapa-siapa orangnya sudah mengamalkan Sholawat Wahidiyah selama 41 hari ditanggung di yaumul qiyamah (hari kiamat) slamet dan masuk syurga beserta anak turunnya. Ini namanya ujub bil a’mal wal ‘ujub bil a’mali minal kabaairi. Wafilhadis :
…………………..
………………..
………….
Hadis ini mengandung pengertian dengan jelas bahwa Rasulullah SAW saja dengan keluarga tidak berani tanggung jawab/tidak tanggung jawab besok yaumil qiyamah.

Dampak selebaran yang ditulis K.H. Mahrus Ali itu sangat meresahkan dan membahayakan terhadap persatuan dan kesatuan umat serta ukuwah Islamiyah khususnya di kalangan warga nahdhiyin. Karena di antara warga NU banyak yang mengamalkan Sholawat Wahidiyah. Bahkan saat itu, sebagian tokoh-tokoh NU bereaksi dengan ikut-ikutan ---tanpa lebih dahulu melakukan tabayyun--- memberi penilaian (cap) bahwa Wahidiyah itu bertentangan dengan syari’at Islam dan melarang para jama’ahnya (pengikutnya) untuk mengamalkan Sholawat Wahidiyah.
Untuk menjaga ukhuwah Islamiyah dan dalam rangka menemukan titik cair yang jernih dan penuh berisi kebenaran dan keadilan, maka pada tanggal 10 Sya’ban 1405 H/30 April 1985 M Penyiar Sholawat Wahidiyah Pusat mengirim surat kepada Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) dengan harapan, agar permasalahan yang timbul di masyarakat akibat selebaran dari K.H. Mahrus Ali tentang Sholawat Wahidiyah dapat diselesaikan dengan arif dan bijaksanana. Dalam suratnya yang bernomor 61/SW-XXIII/C/V/1985 tersebut, PSW Pusat dengan jelas menyampaikan tanggapan negatif K.H. Mahrus Ali mengenai Sholawat Wahidiyah. Disamping itu PSW Pusat juga menyertakan Lembaran Sholawat Wahidiyah dan buku-buku Wahidiyah yang berisi penjelasan Sholawat Wahidiyah dan Ajaran Wahidiyah.
PBNU melalui suratnya nomor: 409/A-II/01/VI/85 tertanggal 22 Ramadhan 1405 H/11 Juni 1985 M memberikan jawaban atas surat dari PSW Pusat yang telah dikirim beberapa hari yang lalu. Isi pokok surat dari PBNU itu antara lain berisi, bahwa PBNU belum pernah membicarakan masalah Sholawat Wahidiyah dalam forum-forum resmi seperti, Konferensi, Musyawarah atau Muktamar. Karena itu PBNU bersikap tidak melarang ataupun tidak menganjurkan kepada jamaah NU untuk mengamalkan Sholawat Wahidiyah. Sekiranya ada jamaah NU yang mengamalkannya, hal tersebut adalah hak mereka sepanjang amalan itu berada di dalam qoidah-qoidah syuriyah.
Disamping menulis surat secara resmi kepada PBNU dan pihak-pihak yang berkompeten, secara pribadi K. Mohammad Djayuli Yusuf memberikan tanggapan langsung kepada K.H. Mahrus Ali dengan mengirim surat jawaban tertanggal 12 Mei 1985. Berikut jawaban K. Mohammad Djayuli Yusuf terhadap selebaran yang ditulis oleh K.H. Mahrus Ali.
Dalam foto copy selebaran tersebut di antaranya tertulis, Sholawat Wahidiyah itu buatan K.H. Abdoel Madjid Ma’roef sendiri. Tidak mempunyai isnad minal adillah. Maka ulama-ulama Kediri khususnya dan ulama-ulama Nahdhatul Ulama’ tidak ada yang mengamalkan Sholawat Wahidiyah.
Tanggapan K. Mohammad Djayuli Yusuf adalah bahwa Sholawat Wahidiyah memang benar ditaklif (disusun) oleh beliau K.H. Abdoel Madjid MA’roef sendiri. Dan apabila yang dikehendaki oleh Bapak (K.H. Mahrus Ali) kata dibuat-buat itu dengan maksud lain sebagai meremehkan hasil karya seseorang, itu adalah hal yang tidak terpuji untuk dilakukan/diucapkan oleh seorang ulama besar seperti Bapak. Hal ini sama sekali tidak mendidik, bahkan menunjukkan berkecamuknya beberapa perasaan yang bertentangan dalam diri Bapak (hasuda).
Kemudian pada kalimat tidak ada isnad minal adillah, apabila yang Bapak maksudkan dengan isnad minal adillah itu silsilah yang muttasil (bersambung/tidak putus) kepada Rasulullah SAW, maka saya perlu memberikan penjelasan kepada Bapak, agar Bapak lebih memahami masalah tersebut. Bahwa sholawat itu tidak diperlukan dan tidak disyaratkan adanya isnad minal adillah, karena sanadnya langsung kepada Rasulullah SAW. Hal itu sebagaimana tersebut dalam kitab Hasyiyah Showi “alal Jalalain Juz III.
Kemudian apabila yang Bapak maksudkan isnad minal adillah itu dasar dan qoidah syar’iyyah itupun perlu saya berikan penjelasan, sebab semua sholawat, baik yang ma’tsuroh (sholawat yang langsung diajarkan langsung dari Rasululloh SAW) seperti yang disusun oleh para ulama as-sholihin seperti, seperti Sholawat Nariyah, Sholawat Munjiyat, Sholawat Badar, Sholawat Wahidiyah dan sebagainya, isnad minal adillahnya langsung dari Al-Quran dan Al-Hadis. Seperti firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW berikut ini:
………………..
…………….

Artunya : Hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. ( QS. Al-Ahzab [33] : 56 )
…………
………… HADIST

Artinya : Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa membaca sholawat kepadaku (nabi) satu kali, Allah memberi balasan sholawat (rahmat dan maghfiroh) kepadanya sepuluh kali” (H.R. Muslim)

Atas dasr ayat Al-Quran dan Hadis Nabi SAW di atas, semua jenis sholawat dengan tidak terkecuali mempunyai kedudukan yang sama, sekalipun maziyah dan kegunaannya berlainan. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Sa’adatud Daraini halaman 373.
Selanjutnya mengenai kalimat “Bahwa santri-santri Lirboyo diharamkan mengamalkan Sholawat Wahidiyah sebab ajarannya banyak bertentangan dengan syari’at. Dengan alasan karena K.H. Abdoel Madjid Ma’roef telah menanggung, barang siapa yang mengamalkan Sholawat Wahidiyah selama 41 hari ditanggung besuk hari kiamat masuk syurga sampai anak keturunannya. Ini namanya ujub bil amal dan itu termasuk minal kabaair.
Tanggapan yang disampaikan K. Mohammad Djayuli Yusuf adalah sebagai berikut: Mengenai kalimat ajarannya banyak bertentangan dengan syari’at, di sini Bapak menuduh seseorang dengan tanpa menunjukkan bukti. Dari mana Bapak dapatkan, sehingga Bapak berani berfatwa seperti itu ? tuduhan kepada seseorang tanpa menunjukkan bukti adalah fitnah: “Walfitnatu asyaddu minal qathli” (Memfitnah lebih kejam dari pembunuhan). Sedangkan Ajaran Wahidiyah pada intinya adalah Lillah dan Billah yang dimaksdkan adalah Syari’at dan Hakikat. Dan masalah ini bukan masalah baru dalam Islam, sebab dalam kitab-kitab salaf banyak menyebutkan, antara lain dalam kitab Kifayatul Atqiyak halaman 9.
Selanjutnya bapak menyebutkan dengan kalimat: ”Siapa-siapa orangnya sudah mengamalkan Sholawat Wahidiyah selama 41 hari ditanggung di yaumul qiyamah (hari kimat) slamet dan masuk syurga beserta anak turunnya. Dari sini mennjukkan bahwa Bapak belum pernah tahu Sholawat. Sebab sepanjang yang saya ketahui selama 21 tahun saya ikut mengamalkan Sholawat Wahidiyah, belum pernah saya menemui bilangan hari pengamalan 41 hari seperti yang Bapak sebut itu. Yang ada adalah 40 hari. Padahal di dalam Lembaran Sholawat Wahidiyah yang beredar di masyarakat luas, bilangan itu tetap dicantumkan. Berarti Bapak hanya menerima berita kata orang Qila waqila.
Dalam selebaran itu Bapak juga menulis dua hadis untuk dasar bahwa Rasulullah SAW tidak bertanggung jawab keada keluarganya lebih-lebih selain Rasulullah SAW. Pengertian Bapak terhadap hadis tersebut perlu saya berikan tanggapan yaitu pada hadis yang pertama dan kedua adalah dasar untuk haqiqotul amri. Bukan berarti ro’yu Bapak tersebut di atas. Adapun masalah syari’at atau lahiriyah seseorang tetap akan menerima balasan amalnya. Hal ini banyak disebutkan dalam ayat Al-Quran dan hadis-hadis shohih, antara lain sebagai berikut :


………….HAL. 44….]

Kemudian pada hadis kedua yang Bapak kemukakan, apabila kita memahaminya secara tekstual seperti pemahaman Bapak itulah jadinya. Untuk itu marilah kita telaah kembali beberapa kitab yang mengupas makna hadis tersebut. Seperti di dalam kitab Syawahidul Haq oleh Syeh Yusuf bin Ismail an Nabhani pada halaman 496, juga dalam Tafsir Showi. Dari penjelasan di kitab tersebut dapat disimpulkan, bahwa pada dasarnya Rasulullah SAW tetap bertanggung jawab dan mensyafa’ati kepada umatnya. Lebih-lebih kepada keluarganya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis :
…………..HAL ………. 45 (HR. Ahmad wan Nasai wa ibn Hibban fii Shohihihi wal Hakim ‘an Jabir)


Sedang selain Rasulullah SAW dapat mensyafa’ati kepada selainnya. Lebih-lebih Rasulullah SAW sebagai sayyidul anbiya’ wal mursalin wa sayyidul kholki ajma’in, apakah masih perlu diragukan syafa’at beliau ? Na’udzubillah min dzalik ! Itulah hasil ketidaktelitian Bapak dalam menganalisis sesuatu permasalahan dan kurang cermatnya Bapak dalam menerapkan dalil terjadilah kesimpulan yang tidak tepat/benar itu.
Akhirnya saya mengharapkan kepada Bapak hendaknya hal-hal seperti itu semua supaya dapat dihindarkan karena sama sekali tidak sepadan dengan predikat dan tugas Bapak sebagai sesepuh tinggi dari jam’iyyah Nahdhatul Ulama’. Saya yakin bahwa masih banyak hal-hal yang jauh lebih penting untuk dipikirkan seorang pimpinan tinggi Nahdhatul Ulama’ seperti Bapak, daripada membahas masalah-masalah yang justru mengakibatkan resahnya umat dan membahayakan terhadap persatuan dan kesatuan umat serta ukhuwah Islamiyah khususnya di kalangan keluarga besar Nahdhatul Ulama’.
Sekian, semoga penjelasan ini dapat menjadi perintis tegak teguhnya persatuan dan kesatuan umat Islam khususnya dalam wadah jam’iyyah Nahdhatatul Ulama’ yang kita dambakan.

3) Tanggapan K.H. Abdoel Hamid

Tanggapan K.H. Abdoel Hamid, pengasuh Yayasan Pondok Pesantren Nuruddin, Dampit Malang, tentang Sholawat Wahidiyah disampaikan melalui selebaran yang dibuat pada bulan Nopember 1987. Judul dalam selebaran itu berbunyi “Beberapa Catatan Tentang Buku Pedoman Pokok-pokok Ajaran Wahidiyah”.
Setelah mengadakan konfirmasi, akhirnya disepakati untuk mengadakan pertemuan antara K.H. Abdoel Hamid sebagai penulis selebaran dan pihak Wahidiyah diwakili oleh K. Mohammad Djayuli Yusuf, K.H. Ihsan Mahin dan M. Ruhan Sanusi. Pertemuan dilaksanakan pada tanggal 26 Nopember 1987 di rumah H. Abdul Malik, Dampit Malang. Karena tidak mendapat ijin dari Muspika Dampit, acara yang semestinya digunanakan untuk memberikan penjelasan/tanggapan terhadap selebaran yang dibuat K.H. Abdoel Hamid, acara dialihkan untuk “haul” dengan pembacaan Tahlil bersama dan sekedar santapan ruhani. Santapan ruhani disampaikan oleh K. Mohammad Djayuli Yusuf dari Wahidiyah. Dalam pengajiaannya, K. Mohammad Djayuli Yusuf menjelaskan tentang Sholawat Wahidiyah dan Ajaran Wahidiyah secara singkat. Kemudian acara diteruskan dengan Tanya jawab atas kesepakatan semua yang hadir.
Dalam acara Tanya jawab itu, K.H. Abdoel Hamid mengajukan beberapa pertanyaan terhadap apa yang disampaikan oleh K. Mohammad Djayuli Yusuf. Pertanyaan yang diajukan antara lain ditekankan pada banyaknya kesalahan dalam bait-bait Sholawat Wahidiyah, sehingga menyalahi kaidah-kaidah ilmu ‘arudh dan balaghoh. Disamping itu K.H. Abdoel hamid juga mengkritisi mengenai Ajaran Lillah Billah, mempermasalahkan nida’ Fafirruu Ilalloh empat penjuru (arah) adalah ibadah baru dan merupakan bid’ah dhalalah yang sesat dan harus dilarang.
Baru beberapa pertanyaan diberikan jawaban oleh K. Mohammad Djayuli Yusuf, pihak Muspika Dampit memberi saran agar pertanyaan-pertanyaan ditulis dan jawaban juga ditulis. Saran tersebut diterima oleh semua yang hadir. Pertemuan lanjutan akan dilaksanakan atas persetujuan kedua belah pihak.
Sesuai dengan saran dari Muspika Dampit pihak K. Mohammad Djayuli Yusuf kemudian mempersiapkan jawaban tertulis atas pertanyaan yang sudah disampaikan oleh K.H. Abdoel Hamid tersebut sambil menunggu pertanyaan yang tertulis kalau-kalau ada perubahan pertanyaan. Ternyata kemudian dari pihak Wahidiyah belum menerima pertanyaan tertulis yang dimaksud, tahu-tahu ada selebaran gelap yang difoto copy dalam jumlah banyak dengan kop Yayasan Pondok Pesantren Nuruddin, Dampit Malang.
Dengan berprinsip wajaadilhum billati hiya ahsan (debatlah/bantahlah mereka dengan cara yang baik) pihak Wahidiyah yang diwakili oleh K. Mohammad Djayuli Yusuf, K.H. Ihsan Mahin dan M. Ruhan Sanusi memberi jawaban dengan argumentative yang pas dan tepat, sehingga segala permasalahan yang disampaikan K.H. Abdoel Hamid tentang Wahidiyah dan Ajaran Wahidiyah tida terbukti sama sekali.

4) Masailil waa qi’ati min hadroti al-Syekh K.H. Abdoel Manan Djayuli al-Sumenefiyyil Maduriyyi

Tanggapan K.H. Abdoel Manan Djayuli, seorang ulama di Sumenep Madura, tentang Sholawat Wahidiyah ditulis dengan bahasa Arab. Di antara yang beliau permasalahkan mengenai Sholawat Wahidiyah adalah tentang bacaan WALAISALI YAA SAYYIDII SIWAAKA FAINDARUDDA KUNTU SYAKHSHON HAALIKA .. (ditulis arab)
(Tiada arti diriku tanpa engkau duhai Yaa Sayyidii. Jika engkau hindari aku akibat keterlaluan berlarut-larutku. Pastilah aku kan hancur binasa)
Menurut K.H. Abdoel Manan Djayuli bacaan tersebut mengkhawatirkan akan ternodanya iman kita sehingga menjadi musyrik. Di samping itu K.H. Abdoel Manan Djayuli menanyakan tentang artinya nadhroh dan robbini (mohon nadhroh dan tarbiyah). Jawaban yang disampaikan oleh K. Mohammad Djayuli Yusuf adalah bahwa nadhroh menurut bahasa berarti rahmah (kasih sayang). Dia memandang dengan pandangan nadhroh yakni dengan pandangan kasih sayang. Menurut istilah, nadhroh adalah pemberian dan bimbingan ruhaniyah atau pandangan hati (bimbingan bathiniyah). Dengan demikian, yang lebih tepat bagi kita adalah selalu memohon nadhroh kepada Ghoutsu hadzazzaman RA, meskipun kita belum mengetahui siapa pribadi Ghouts tersebut, namun beliau selalu mengetahui kita dengan jelas, sebab dibukanya hijab dalam hatinya. Sedangkan tarbiyah adalah limpahan ruhaniyah seorang Kamil yang memberikan tarbiyah kepada yang diberi tarbiyah (Murobba).
Pertanyaan lainnya adalah mengenai bacaan Fafirruu Ilalloh dan Waqulja al Haqqu Wazahaqol baathil Innal baathila kaana zahuuqo. Mengapa pengamal Wahidiyah membaca dan mengulang-ulangnya dengan nada doa, padahal kedua ayat itu menunjukkan arti amar (perintah). Bukankah hal itu termasuk meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya (dholim) ?
Jawaban K. Mohammad Djayuli Yusuf terkait masalh ini adalah bahwa Fafirruu Ilalloh artinya Kembalilah dan bersandarlah segala urusanmu kepada Allah SWT. Adapun mengulang-ulang bacaan ini untuk memperdalam dalam memberikan bekas (atsar), supaya umat jami’al ‘alamin segera kembali kepada Allah. Coba lihat doa sebelumnya :

BALLIGH JAMI’AL…………… BALIGHO

“ Sampaikanlah seruan kami ini kepada jami’al ‘alamin dan berikanlah kesan yang mendalam di dalamnya “.

Jadi yang menyampaikan kepada jami’al ‘alamin adalah Allah SWT sendiri. Kemudian tentang bacaan Waqulja al-Haqqu wazahaqol Baathil innal baathila kaana zahuuqo K. Mohammad Djayuli Yusuf menukil sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari ibn Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda: “ Pada waktu terbukanya negara Makkah, Rasulullah SAW masuk ke dalam masjid dan di sekitar Ka’bah terdapat 360 berhala. Kemudian berhala-berhala itu digulingkan oleh Rasulullah SAW dengan menggunakan kayu yang dibawanya dengan mengucapkan ayat: Jaa al haqqu wazahaqol Baathil innal baathila kaana zahuuqo”. Menurut Syekh Nawawi al Dinsyiqi dalam Syarah Muslimnya menerangkan, pada waktu menghilangkan kemungkaran disunnahkan membaca ayat Waqulja al-Haqqu wazahaqol Baathil innal baathila kaana zahuuqo.


5) Selebaran Gelap Aunur Rofiq Ghufron

Pada tanggal 3 Januari 1988 K. Ihsan Mahin, pengasuh Pondok Pesantren At-Tahdzib Ngoro Jombang yang juga sebagai ketua V PSW Pusat, menerima selebaran gelap dari Umar ---salah seorang pengamal Wahidiyah tinggal di Pare Kediri--- terdiri dari tiga lembar yang ditulis oleh Sdr. Aunur Rofiq Ghufron yang mempermasalahkan Sholawat Wahidiyah.
Tanggapan Aunur Rofiq Ghufron ini berbeda dengan tanggapan-tanggapan yang disampaikan oleh beberapa ulama sebelumnya. Jika para pengirim selebaran maupun surat sebelumnya mencamtumkan nama dan alamat penulis, maka Aunur Rofiq Ghufron hanya mencantumkan namanya saja. Sehingga pihak Wahidiyah dalam menanggapi selebaran gelap tersebut tidak dapat memberikan klarifikasi secara langsung kepada pihak yang bersangkutan karena alamatnya tidak diketahui dengan pasti. Akhirnya tanggapan PSW Pusat hanya disampaikan kepada Komandan Distrik Militer 0809 Kediri, Kepala Departemen Agama Kabupaten dan Kota Kediri.
Permasalahan yang diungkapkan oleh Aunur Rofiq Ghufron dalam selebaran gelapnya yang diberi judul “Kesalahan Ajaran Wahidiyah” ternyata hanya masalah khilafiyah dalam Islam, seperti berdoa dengan bertawashul, sampainya hadiah pahala amal kepada orang lain, masalah sebutan sayyidina atau yaa sayyidii kepada Rasulullah SAW. Sebenarnya masalah khilafiyah sampai kapanpun tidak akan ada selesainya, karena masalah khilafiyah (perbedaan pendapat ulama) itu sudah sejak dulu ada. Oleh karena itu sikap yang paling bijak adalah bersikap tasammuh (menghormati) dan menghargai pendapat orang lain berdasarkan argumentasi atau dalil-dalil menurut kaidah-kaidah disiplin ilmu yang berlaku dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pemikiran yang lebih ekstrim Aunur Rofiq Ghufron mengenai Sholawat Wahidiyah adalah bahwa Sholawat Wahidiyah bukan ajaran Islam, karena sebagian isi Sholawat Wahidiyah mengajak musyrik. Bahkan dengan beraninya Aunur Rofiq Ghufron menyatakan bahwa pengamal Wahidiyah itu menuhankan Nabi SAW, perbuatan itu sama halnya kaum Yahudi yang menuhankan Uzair, sama dengan umat Nasrani yang menuhankan Isa. Orang musyrik menuhankan Malaikat.
Sikap PSW Pusat dalam menanggapi tuduhan, hasutan dan penghinaan yang disampaikan Aunur Rofiq Ghufron itu berkesimpulan bahwa perbuatan itu merupakan pelanggaran norma-norma keagamaan dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dengan sikap tegas PSW Pusat mohon kepada pihak yang berwajib agar Aunur Rofiq Ghufron mendapatkan peringatan-peringatan keras yang sesuai dengan peraturan pemerintah yang berlaku.
Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef Muallif Sholawat Wahidiyah QS RA dalam menanggapi para pengontras atau penentang Wahidiyah senantiasa memberikan nasihat kepada para pengamal Wahidiyah supaya jangan memandang pengontras Wahidiyah itu sebagai lawan. Akan tetapi justru sebaliknya, mereka adalah kawan setia perjuangan. Sebab dengan adanya para pengontras itu; pertama, mendorong kita agar lebih giat dan bersungguh-sungguh dalam munajat, memohon kepada Allah SWT mengakui kelemahan dan kedholiman kita. Kedua, sesungguhnya para pengontras Wahidiyah itu secara tidak langsung ikut menyiarkan Sholawat Wahidiyah dengan cara dan gayanya sendiri. Sebab dengan adanya pengontras itu, orang yang asalnya tidak tahu apa itu Sholawat Wahidiyah menjadi tahu apa itu Sholawat Wahidiyah. Mereka ikut mempunyai andil dalam Perjuangan Wahidiyah, Perjuangan Fafirruu Ilallah wa Rasulii SAW.
Pada kesempatan lain Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef Muallif Sholawat Wahidiyah QS RA pernah dawuh “Kelihatannya kita ini pejuang Wahidiyah, tetapi kenyataannya kita sebagai penghambat perjuangan Wahidiyah”. Timbul suatu pertanyaan setelah kita membaca dawuh tersebut, mengapa pengamal Wahidiyah bisa dikatakan sebagai penghambat Perjuangan Wahidiyah ? Hal ini bisa terjadi karena kita tidak konsekuen dalam menerapkan Ajaran Wahidiyah, dengan kata lain kurang atau tidak tepatnya penerapan Ajaran Wahidiyah dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin dalam hal ahwal (perbuatan) maupun aqwal (perkataan) kita belum sesuai dengan Ajaran Wahidiyah, sehingga dengan tidak kita sadari banyak anggota masyarakat yang mencibir, sehingga banyak orang yang tidak simpatik dan tertarik terhadap Sholawat Wahidiyah yang kita siarkan. Intinya, totalitas kita terhadap penerapan Ajaran Wahidiyah belum seratus persen. Sehingga, misalnya, ketika kita menyiarkan Sholawat Wahidiyah masih dibarengi dengan niat pamrih atau tidak ihklas (tidak Lillah), dan masih banyak perbuatan (aktifitas) kita yang senantiasa dihinggapi oleh linnafsi binnafsi.


3. Periode Kebangkitan

Periode ini diawali dengan keluarnya Surat Keputusan (SK) Muallif Sholawat Wahidiyah. Surat Keputusan ini bertujuan untuk meredam konflik yang terjadi antara PSW Pusat dan Majelis Pertimbangan Wahidiyah (MPW) yang telah lama terjadi akibat miss komunication antara keduanya.
SK Muallif Sholawat Wahidiyah pertama dikeluarkan pada tanggal 24 Oktober 1987 dengan Nomor : MSW/004/1987 tentang Pengesahan PSW Pusat masa khidmah 1987-1992 dengan susunan sebagai berikut:
Ketua I : A.F. Baderi
Ketua II : Drs. Syamsul Huda
Ketua III : Agus Abdoel Hamid Madjid
Ketua IV : Agus Abdoel Latif Madjid
Ketua V : K. Ihsan Mahin
Ketua VI : K.H. Mahfudh Shidik

Sedangkan Surat Keputusan Muallif Sholawat Wahidiyah yang kedua dikeluarkan pada tanggal 21 Juli 1988 dengan Nomor: MSW/006/1988 tentang Penyempurnaan Pimpinan PSW Pusat. Sehingga mulai saat itu unsur Pimpinan PSW Pusat berjumlah 9 (sembilan) orang yaitu:
Ketua I : A.F. Baderi
Ketua II : Drs. Syamsul Huda
Ketua III : Agus Abdoel Hamid Madjid
Ketua IV : Agus Abdoel Latif Madjid
Ketua V : M. Ruhan Sanusi
Ketua VI : K.H. Mahfudh Shidik
Ketua Bidang Khusus : K.H. Zainal Fanani
Ketua Bidang Khusus : K. Ihsan Mahin
Ketua Bidang Khusus : K. M. Djayuli Yusuf

Dengan dikeluarkannya dua SK Muallif Sholawat Wahidiyah ini telah melahirkan suasana baru, gairah baru dan semangat baru bagi PSW Pusat untuk berjuang Fafirruu Ilalloh wa Rasulihi SAW dengan semangat gotong royong dan senantiasa menjaga kebersamaan dan persatuan. Seolah-olah ada kebangkitan tersendiri bagi PSW Pusat. Dan inilah makna periode kebangkitan dalam perjalanan Perjuangan Wahidiyah.